22 - Jatuh Menujumu

6.9K 896 62
                                    

Seumpama bertemu gadis seumuran yang sering berpikir pasti menyenangkan untuk mendapat teman sebangku lawan jenis, Sena akan langsung katakan pada gadis itu jika anggapannya benar-benar konyol. Yang benar saja! Kalau hampir setiap hari harus dibuat darah tinggi menghadapi sisi jahil remaja laki-laki, mendengar celoteh-celoteh kurang pentingnya, juga sering kehilangan alat-alat sekolah karena dia punya kebiasaan menganggap barang milik teman sebangku sebagai barangnya juga, memangnya bagian mana yang masih bisa dianggap menyenangkan? Bikin kesal sih iya!

“Kenapa si Alien itu nggak bisa berhenti bertingkah nyebelin?!” gerutu Sena. Sekarang, gadis itu sedang berdiri di depan pintu kayu sebuah rumah bercat hijau muda. Hendak menciduk orang yang sangat ia yakini merupakan tersangka dalam kasus kehilangan buku catatan fisikanya. Siapa lagi kalau bukan Dika.

Sena mengesah saat mengetuk. Bila saja buku tersebut tidak penuh dengan materi yang harus ia pelajari untuk persiapan hari terakhir ujian kenaikan kelas besok, mana mau Sena sampai berepot-repot begini.

Derap langkah kaki terdengar mendekat setelah dua kali Sena mengetuk dan memberi salam. Pelototan, omelan dan berbagai reaksi marah-marah sudah Sena siapkan. Siap ia ledakkan. Tetapi sayang harus teredam perkara yang muncul bukan Dika, melainkan ibunya.

“Loh, Ndok?” Rohmah cukup terkejut melihat siapa yang datang. Namun tak ayal wanita itu juga sangat senang. Bila diingat-ingat, setelah acara cuci kaki serentak di sekolah beberapa waktu lalu, Rohmah sama sekali belum bertemu lagi dengan gadis yang selalu putranya buatkan puisi ini. “Duh, suwi ndak ketemu. Tambah ayu kamu, Ndok...”

Sena meringis canggung membiarkan tangan Rohmah mengelus-elus rambutnya. Jujur saja, ia agak bingung karena sama sekali tidak menduga kalau malah bertemu dengan ibu Dika begini. “Ibu apa kabar?”

“Alhamdulillah, sama sehatnya seperti, Cah Ayu....” Rohmah menepuk ringan pipi Sena sembari mengembangkan senyum keibuannya. “Kamu kesini cari Kaka?”

“I—iya. Mau tanya sesuatu. Urusan sekolah...” Terpaksa Sena karang-karang alasan. Bukan bermaksud apa-apa. Hanya merasa kurang sopan untuk mengatakan pada Rohmah jika anak sulungnya adalah pencuri buku.

“Begitu... Tapi jam segini Kakanya masih di mushola. Ibu panggilkan dulu kesana ya?”

“Eh, kok Sena malah bikin repot sih. Ndak usah—“

“Repot opo toh, orang deket sini kok. Sini, kamu masuk! Cah Ayu tunggu di dalam saja.”

“Duh, jangan deh, Bu...” tolak Sena tetap merasa tidak enak. “Biar Sena saja yang susulin kesana. Di mushola kan? Sudah mau isya juga. Sekalian Sena mau ikut sholat jamaah.”

Pilihan Sena membuat Rohmah meletakkan sendal yang sempat diambilnya. Sepasang karet warna putih biru tersebut ia sandarkan kembali ke dekat pot karena tidak jadi dipakai. “Yo wis lah kalau begitu. Bawa mukenah Ibu saja ya? Di mushola ndak ada soalnya.” Kali ini Sena langsung mengangguk. “Sebentar, Ibu ambilkan.” Dan Rohmah segera beranjak masuk sehabis menepuk singkat pundak gadis di hadapannya. Semenit kemudian, satu set mukenah yang terbungkus sejadah sudah berpindah ke dekapan Sena.

“Nanti ndak usah dikembalikan. Dibawa pulang saja.” Yang Rohmah pesankan memancing reaksi sungkan lain dari Sena. Sebetulnya ia bukan enggan menerima, hanya saja Sena merasa tidak enak sendiri dengan kebaikan Rohmah yang sedikit berlebihan ini. “Jangan ditolak dong, Cah Ayu. Kata Kaka, Mei lalu kamu ulang tahun kan? Jadi anggap saja ini hadiah dari Ibu.” Namun ujung-ujungnya Sena kalah juga. Tidak mungkin tidak menerima kado ulang tahun susulan tersebut.

“Sena pamit dulu, Bu...” sempat memindahkan mukenah ke tangan kiri, gadis itu meraih tangan Rohmah untuk dicium.

“Pokoknya kamu harus lebih sering kesini yo, Nduk. Temenin Kaka.”

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang