4 - Satu Meja Untuk Berdua

21.6K 2.2K 110
                                    

“Kamu tahu hari ini hari apa, Dik?”

Sekilas Dika menolehkan kepala mendengar pertanyaan Pram. Tidak tahu bagaimana, tiba-tiba saja sahabatnya itu sudah menyamai langkah kakinya. Bahu kanan Pram berjarak sejengkal saja dengan bahu kiri Dika. Seperti biasa, Pram muncul sepaket dengan si gembul. Epeng mengunyah roti dan membuat posisi Dika berada di tengah.

“Hari Jum'at.” balas Dika singkat. Laki-laki itu fokus meneliti sekitar, tidak ingin tahu kenapa Pram menanyakan hal yang mestinya bisa ia jawab sendiri.

“Aku juga tahu kalau sekarang hari Jum'at! Tapi ini benar-benar hari yang mengesalkan buatku...”

“Buatku juga!” seloroh Epeng menambahi kata-kata Pram.

Dika sendiri mendengarkan. Hanya saja kelewat fokus melangkah sampai tak sempat menjawab dan ikut lagi dalam obrolan. Jam istirahat begini koridor padat oleh para siswa yang lalu lalang. Dan mencari seseorang jadi lebih sulit sekarang.

Pram sempat melirik kakinya sebelum memulai cerita, “Jadi... Tadi pagi aku sama Epeng ketemu murid baru. Cantiknya itu... subhanallah lah! Waktu pertama kali lihat, kukira dia bidadari, mampir ke bumi soalnya ingin belajar biologi. Tapi rupa ayu itu ternyata menipu!” wajah Pram sekecut air jeruk untuk perasan kuah soto.

Kepala Epeng bergerak memberikan anggukan setuju, “Baru disapa saja sudah keluar tanduknya! Murid baru itu, ternyata spesies singa betina bertanduk!”

“Betul banget, Peng! Injakan kaki kecilnya bikin nyeri jempol kaki! Omongannya juga lebih pedas dari sambal rawit Mbok Wati!” langganan penjual nasi di kantin sekolah sampai Pram bawa-bawa saking kesalnya.

Masih tidak ada sahutan. Pram mendengus. Padahal niat awalnya adalah berbagi cerita pada Dika. Eh, yang ada dirinya malah ngobrol berdua dengan Epeng. Kekesalan Pram bertambah-tambah waktu sadar kalau sedari tadi ia sudah mengikuti sahabatnya mengelilingi sekolah dengan tujuan yang entah apa. “Hei, Dik! Aku dan Epeng lagi bicara sama kamu tahu!”

“Iya, nih! Jangan bikin kedua sahabatmu merasa seperti butiran debu, dong! Sebenarnya kamu sedang cari siapa, sih?!” tangan gemuk Epeng mendorong punggung Dika. Membuat yang didorong hampir saja terjungkal ke depan. Untungnya Dika masih bisa mengendalikan tubuhnya.

Di depan mading sekolah Dika berhenti. Ia mengambil sebungkus permen karet dari saku, “Saya lagi cari orang yang dari tadi kalian bicarakan.” Dika membuka bungkus permen karet sambil mengedarkan pandangan. Masih berusaha mencari gadis yang terus mengunci bibir saat di kelas dan langsung kabur waktu dengar bel istirahat berbunyi tadi. Entah kenapa, cara Sena menghindar malah bikin Dika merasa sedang diajak main petak umpet.

Pram dan Epeng langsung heboh. “Kamu sudah ketemu sama singa betina itu?!” tanya Epeng, baru saja ia menelan semua roti di mulutnya.

“Kalian ingat cerita saya soal gadis yang ingin bunuh diri itu...?” pertanyaan Dika diangguki kedua sahabatnya, “Gadis itu, orang yang sama dengan Singa betina yang kalian maksud. Dan sekarang... dia sekelas sama saya. Sebangku juga.” Nada bicara Dika tenang seperti biasa.

Seketika Pram menganga, sementara mata sipit Epeng terbelalak lebar. “Apa?!” keduanya membeo kompak.

“Astaga... kamu benar-benar kedatangan musibah, Dik... kayaknya kamu harus mandi kembang tujuh rupa!” Pram berkomentar dengan wajah ngeri. Epeng malah bingung sendiri harus bilang apa.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang