20 - Draft Yang Kehilangan Inspirasi

7.3K 934 57
                                    

Ini hanyalah pagi biasa. Embun-embun sisa dingin atmosfer malam mulai menguap bersama bergeraknya kesibukan masyarakat Yogyakarta. Kabut-kabut tipis pun telah menyingkir seiring mesin dan klakson kendaraan menderu memenuhi jalanan. Seolah tak ingin jadi penghalang bagi orang-orang yang bersemangat mengejar kehidupan.

Sena membayar bapak pengayuh becak yang sudah berjasa meringankan perjalanan berangkatnya ke sekolah. Sedikit kembalian gadis itu ikhlaskan dengan ringan hati sehingga si bapak tak henti berterima kasih. Gembira atas rezeki tambahan yang didapatnya pagi-pagi.

“Mugi Mbak ayu bahagia selalu!” setelah mendoakan demikian, bapak tukang becak kembali mengayuh pedal. Sedangkan Sena beranjak menjemput gerbang yang sesekali dilewati pula oleh siswa-siswi lain berbawaan buku-buku tebal.

Namun, baru juga berjalan tiga langkah, gadis itu dibuat berbalik kembali oleh suara bergetar yang memanggil-manggil namanya dari arah belakang. “Ratih?!” pekik Sena dengan mata membola. Melihat sahabatnya berjalan sempoyongan sambil terisak seketika membuat ia panik.

Tanpa menunggu lagi, Sena menghampiri Ratih. “Rat! Kamu kenapa? Kenapa nangis begini?” tanyanya sedikit tercekat. Sebisa mungkin coba menekan segala pikiran buruk yang mencuat.

Pundak Ratih naik turun seirama isakannya. Sewujud bibir di wajah piasnya bergerak membuka-buka namun seolah hilang kemampuan bicara. Semakin dipaksa kaki-kaki Ratih terasa semakin lemas hingga gadis itu tak dapat menahan bobot tubuhnya sendiri dan merosot terjongkok di atas tanah. Sena terpekik lalu buru-buru memegangi kedua lengan atas sahabatnya. Ekspresi takut bercampur putus asa itu benar-benar membuat Sena bingung harus berbuat apa.

“Astaga! Ini kenapa...?” untuk kali ini, Sena bersyukur laki-laki itu muncul tiba-tiba dihadapannya. Di keadaan tidak bisa berpikir jernih begini, di tengah semua ketidaktahuan dan kekhawatiran yang mendera, Sena jelas membutuhkan kemampuan bersikap tenang diatas rata-rata yang sudah menjadi keahlian Dika.

💧💧💧💧

Sena, Pram, Dika dan Epeng digiring keluar UKS oleh Bu Arum, petugas kesehatan sekolah. Mereka diminta kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran dan membiarkan Ratih tidur nyaman tanpa diganggu. Awalnya empat remaja itu keberatan. Terutama Sena yang merasa sangat tidak etis untuk membiarkan Ratih sendiri dalam keadaan masih shock setelah insiden penjambretan yang baru dialaminya. Apalagi Ratih juga terluka sebab usaha pembelaan diri yang ia lakukan justru berbuah penganiayaan. Namun akhirnya kata-kata Bu Arum yang menjamin Ratih akan ia jaga sebaik mungkin mau tak mau memaksa keempatnya beranjak juga.

“Nggak habis pikir aku sama Yogyakarta. Kukira kota ini cukup aman, ternyata sebelas duabelas saja dengan Jakarta!” Sena memimpin langkah sembari terus merutuk. Tampak betul-betul marah dan belum bisa terima dengan apa yang menimpa sahabatnya.

“Bukan salah kota kita, Na. Indonesia ini negeri aman kok sebetulnya. Sayang saja orang-orangnya suka bikin ulah...” ujar Dika menimpali, pendapatnya itu disambut anggukan setuju oleh Epeng. Sedangkan satu laki-laki lain di sebelah kiri Dika hanya acuh. Atau tepatnya memang tak menyimak sama sekali karena masih terlalu sibuk mengkhawatirkan Ratih.

Pagi ini Sena sedang malas berdebat. Meski sempat mendengus, tapi ia tidak lagi membalas ucapan Dika. Gadis itu terus berjalan lurus menghentak lengang koridor dengan langkahnya yang lebar-lebar.

Pilihan membuntuti Sena membawa Dika dan dua sahabatnya sampai ke area belakang sekolah. Tembok bata tua setinggi dada yang ditumbuhi tanaman menjalar, juga pohon beringin besar di dekat tembok belakang gudang, seolah saling bekerjasama dengan suasana lengang sehingga kesan angker begitu terasa. Epeng memepetkan tubuh gempalnya pada Dika, mencari pelarian untuk menenangkan sebaris bulu kuduknya yang mendadak berdiri.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang