17 - Pembentuk Mutiara: Luka

8.1K 1.1K 24
                                    

Semangkuk mie instan yang baru Gani letakkan di atas meja ruang tamu menguarkan aroma soto yang menggugah selera. Dua sendok berdenting pelan ketika Gani memberikan salah satunya kepada Sena. “Sarapan dulu.” Ajak laki-laki itu, senyumnya tak kalah hangat dari suhu kuah mie.

Sena menunda niat untuk pakai kaus kaki dan sepatu. Dipinggirkannya dua atribut sekolah tersebut sedikit menjauh dengan mendorong pakai kaki kiri sebelum ikut makan. Tepung panjang kenyal yang dipadu kuah gurih itu Sena nikmati pelan-pelan, ditiup dulu agar lidahnya tidak kepanasan.

Tak ada yang istimewa dari sarapan mie instan. Sebetulnya, Gani malah kurang suka karena mie instan bukan jenis makanan menyehatkan. Makan nasi dan lauk-pauk rumahan nan sederhana yang dijual di warung-warung tepi jalan lebih ia sukai. Namun keberadaan sang adik mambuat sarapan Gani pagi ini terasa begitu berarti. Tidak biasanya Sena mau. Yang sudah-sudah, gadis itu selalu berangkat begitu saja dengan alasan tidak lapar, takut terlambat, atau mau sarapan dengan teman di sekolah.

“Makan yang kenyang, biar semangat nanti belajarnya...” Gani mengusap rambut adiknya lembut. Dalam hati, ia tidak henti berdoa supaya kebersamaan-kebersamaan kecil bersama Sena begini akan semakin intens untuk selanjutnya. Tentu hal itu akan sangat baik untuk mengeratkan hubungan Gani dengan si saudari kandung satu-satunya—hubungan yang selama ini masih kebalikan dari harapan laki-laki itu.

Saat Gani sibuk dengan pikirannya, Sena pun tak mau kalah. Sedari tadi ia diam sebab sesuatu dalam kepalanya terlalu menyita fokus yang ia punya. Sesuatu itu tidak lain adalah sebuah permintaan yang sudah Sena pikirkan semalaman. Namun sekarang, Sena justru bingung harus bicara bagaimana saat Gani sudah ada di hadapan. 

“Ngomong-ngomong, uang sekolah yang Kakak kasih waktu itu sudah kamu bayarkan belum?”

Uhuuk! Uhuuk!

Gani yang tiba-tiba mendahului dengan pertanyaannya sontak membuat Sena tersedak. Sial sekali bagi Sena, dirinya bahkan belum sempat menyampaikan isi kepala, dan sekarang ia harus mengesampingkan dulu niat awal dan memulai sandiwara. “Sudah, kok...” gadis itu berusaha terlihat setenang mungkin.

“Baguslah kalau begitu...” Gani hanya berkomentar seadanya, lalu kembali meneruskan makan. Sena benar-benar lega sebab Gani tidak berpikir macam-macam tentang mengapa tadi ia bicara tanpa mau bertatap mata.

Ayo, Sen! Cuma kakakmu ini yang bisa bantu! Teriak dewi batin Sena. Sesuatu dalam dirinya itu—yang Sena sendiri tak paham bagaimana wujudnya—terus memaksa bibir agar bersuara. Jangan sampai Gani keburu mengeluarkan pertanyaan berbahaya lagi.

“Kak, Sena dapat undangan ke pesta ulang tahun teman. Acaranya satu minggu lagi.” setelah berhasil mengalihkan keraguan dengan menelan tiga sendok kuah mie, akhirnya sepatah kalimat tersebut berhasil Sena lontarkan.

Gani menatap Sena dengan wajah antusias. “Kalau begitu kamu harus dateng. Biar nggak di rumah terus. Remaja seusia kamu tuh memang butuh pesta sekali-sekali!” katanya bercampur tawa ringan.

“Ya, tapi Sena butuh uang.”

Tawa Gani lenyap. Satu kalimat itu merubah ekspresinya 180 derajat. Garis muka laki-laki tampan itu tak lagi tampak sesantai tadi. “Butuh berapa?” dua kata itu lolos setelah Gani sempat berdehem kecil.

“Sesuai harga gaun pesta, sepatu, sama kado buat yang ulang tahun.” Tadinya Sena masih mengaduk-aduk kuah mie, tapi saat teringat ada yang kurang dalam permintaannya barusan, Sena mengangkat kepala dan membalas kontak mata dengan sang kakak. “Dan Sena maunya barang-barang itu sesuai standar yang ‘biasa’.”

Seperti sudah bisa menduga Sena akan bilang demikian, Gani menghela napas berat sembari memikirkan jawaban yang tepat. Yang Sena minta adalah mudah, Gani akan ringan mengacungkan jempol tanda menyanggupi kalau saja ia sedang berada di keadaan yang ‘biasa’ dan bukannya di keadaan yang baru ini. Gani terus menatapi Sena dengan sorot mata meminta pengertian, ia meraup wajah pelan saat menyadari bibir Sena tetap rapat, mengartikan ia tak ingin mengubah permintaan.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang