12 - Ketidaksanggupan

13.1K 1.5K 71
                                    

"Intinya aku sama sekali nggak setuju kamu jatuh cinta sama gadis nggak punya hati begitu! Tahu nggak, tadi pas pulang sekolah--"

"Aku sama Dika juga lihat kok pas Sena sama temen-temennya ngerjain Ratih." Epeng memotong ocehan Pram setelah berhasil menelan keripik pisang yang sedang ia kunyah. Kasihan pada Pram yang sampai berkeringat cuma gara-gara menceramahi Dika.

Pram melotot ke arah Dika. "Jadi kamu lihat yang tadi siang? Terus kamu masih belum mau berubah pikiran, Dik?"

Yang ditanya tidak membalas, sibuk-menyibukkan diri-mengerjakan tugas fisika.

Pram mendengus kesal lantas mengambil bolpoin yang Dika pegang sehingga berhasil merebut seluruh perhatian sahabatnya. "Pokoknya nggak usah ada Nana Nana lagi ya, Dik! Epeng benar, mending kamu sama Bunga yang jelas-jelas jauh lebih baik!"

"Pram..." Dika mendesah lelah. Belakangan ini topik mengenai Sena sering sekali membuat dirinya dan Pram berdebat. Tidak terkecuali saat acara belajar bersama di kamar Epeng malam ini. "Mungkin saja itu kan nggak sepenuhnya ide Nana?"

"Tapi tetep kan si Sena ikutan? Artinya udah nggak bisa disangkal dong kalau Sena emang nggak baik?" Pram tidak goyah pada opininya.

Sepelan mungkin Epeng mengunyah keripiknya. Melihat bagaimana Pram dan Dika saling menatap saat ini membuat suasana tegang terasa sampai membuat tenggorokan Epeng tercekat. Ia hanya bisa meringis pusing. Bingung mencari cara untuk menengahi.

Dengan frustasi Dika mengusap wajahnya. Tidak bisa disangkal kalau cara bicara Pram yang sangat menyudutkan Sena sedikit memancing emosinya. Sebab tidak ingin dirinya benar-benar bertengkar dengan Pram, Dika putuskan segera membereskan barang-barangnya ke dalam tas.

"Kita sama-sama belum mengenal Nana terlalu jauh..." setelah menyelesaikan kalimatnya, laki-laki itu beranjak begitu saja keluar dari kamar Epeng.

Deru motor Dika terdengar dari luar, Pram menendang pinggiran kasur Epeng yang tergelar di lantai. "Lihat Peng! Sahabatmu itu keras kepala banget!" omelnya.

Epeng menghela napas lantas memaksa Pram duduk bersamanya. Bermaksud meredam emosi Pram, Epeng menjejalkan keripik pisang ke mulut Pram sambil merangkul bahu sahabatnya akrab. "Sabar sabar... pikirkan setiap masalah sambil makan supaya lebih tenang..." Pram memutar bola mata. Namun tak ayal ikut mengunyah keripik juga.

Tidak terasa keripik di toples tinggal remahan, Pram menepuk punggung Epeng keras sampai si gembul terbatuk-batuk karena tersedak. Cengiran itu mengisyaratkan kalau Pram baru dapat ide. "Oke, Peng. Kalau Dika nggak bisa dibilangin, berarti kita harus bertindak langsung!"

💧💧💧💧

Pagi yang dingin. Tapi udara pagi Jogjakarta itu nyatanya tidak mampu menghalangi seorang Sena dari rasa hausnya. Sebelum masuk ke sekolah, gadis cantik itu memutuskan mampir ke sebuah toko kecil yang kebetulan sudah buka, hanya membeli sebotol air mineral kemasan kemudian meneguknya pelan-pelan sambil berjalan.

Sampai di kelas, Sena memicingkan mata menyadari kursinya sedang ditempati oleh seorang laki-laki bertubuh gempal yang sedang menikmati cokelat. Satu laki-laki lagi malah duduk asal-asalan di atas meja, postur tubuhnya sangat bertolak belakang dengan orang yang sedang duduk di kursi. Sena tahu mereka, dua laki-laki tidak sopan yang tidak lain adalah sahabat teman sebangkunya. Pertemuan di hari pertama masuk sekolah itu jelas masih segar dalam ingatan Sena.

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang