26 - Jatuh Cinta Sebagai Hujan Seutuhnya

Mulai dari awal
                                    

"Itu tadi suaminya ya, Ndok?"
Sena menoleh pada seorang nenek yang duduk tepat di depannya. Nenek Mira namanya. Wanita dengan rambut rata beruban itu naik kereta bersama suaminya dari stasiun yang sama dengan Sena. Mau ke Jakarta juga, mau tengok anak, menantu dan cucu karena sudah kepalang rindu.

"Maaf, Nek... suami?" ulang Sena. Ingin memastikan telinganya tidak salah tangkap sebab pertanyaan tadi kedengaran aneh untuknya.

"Iya, yang duduk sama kamu. Yang sekarang sedang ke toilet."

Sena melongo. Dua hal yang baru Nenek Mira sebutkan sudah pasti merujuk pada satu orang. Siapa lagi kalau bukan Dika. "Bukan..." sambil meringis kikuk ia menggeleng. "Saya ini masih SMA." Lanjutnya sekaligus memberitahu Nana dan Kaka-begitu cara Dika mengenalkan diri dengan amat sumringah tadi-hanyalah sepasang sahabat.

"Oh begitu?" Nenek Mira membeo, beliau menjeda aktivitas merajutnya untuk menyipit sejenak kearah Sena. "Nenek kira kalian pasangan muda. Habisnya naik kereta berdua." beliau terkekeh sedangkan Sena lagi-lagi sekedar meringis.

Ingin rasanya Sena jelaskan kalau sebetulnya ia berangkat dengan lima orang lain juga, hanya saja ia harus duduk cukup berjauhan dari mereka dan terjebak bersama Dika karena akal-akalan si Alien itu. Tapi tidak bisa betulan dilakukan karena Dika baru saja kembali. Kalau obrolan salah paham ini terdengar olehnya, pasti Dika pasti akan bersemangat menimpali dengan membuat jawaban-jawaban asal yang akan membuat Sena tidak berhenti melotot.

"Sudah malam, Nek. Ini ada teh tawar hangat, diminum ya. Habis itu Nenek tidur. Merajutnya dilanjut besok saja. Kakek sudah menunggu dalam mimpi loh..." melihat cara Dika mengedipkan sebelah mata usil, Sena langsung geleng-geleng sendiri. Orang tua masih saja digodai... pikirnya.

Nenek Mira tersenyum malu-malu. Merasa tersanjung dengan perhatian Dika. Alat-alat merajut akhirnya ia letakkan, kedua tangan berkulit keriput itu kemudian beralih meraih teh dalam cup plastik yang Dika belikan. "Terimakasih... baik sekali kamu ini..." Dika menanggapi dengan sekedar cengar-cengir sendiri. Sementara gadis disampingnya memutar bola mata dengan menampilkan ekspresi geli.

"Jangan cemburu, Na... nih, saya juga bawakan buat kamu." Dika memindahkan satu gelas yang tersisa di tangan kiri ke tangan kanan. Ia harus pakai tangan baik untuk memberikan minuman hangat itu pada gadis paling berwajah oval disampingnya. "Yang ini lebih spesial loh, soalnya pakai gula." Demi menjaga perasaan Nenek Mira, Dika sengaja memakai nada berbisik dan menutupi gerak bibirnya dengan telepak tangan.

"Dih! Kepedean kamu!" cibir Sena, tidak terima dirinya dituduh cemburu pada seorang lansia. Namun demikian, teh dari Dika tetap ia terima juga. Aroma khas yang menguar terlalu menggiurkan hingga tidak bisa ditolaknya.

Dika sempat ngobrol-ngobrol sebentar dengan Nenek Mira. Hanya soal sekolah atau rumah. Sebatas menemani wanita itu menghabiskan teh tawarnya. Setelah saling mengucapkan selamat malam, percakapan pun ditutup. Sampai kemudian Sena membukanya lagi dengan satu pertanyaan setelah sempat diam-diaman cukup lama dengan Dika, dan tentunya setelah yakin Nenek Mira sudah cukup pulas. "Ini pasti bukan karena kamu ingin minta maaf sama Paman dan Bibimu kan?"

Tak cukup menoleh, Dika memiringkan tubuhnya. "Saya sendiri yang bilang begitu. Baru satu jam lalu. Kamu tidak percaya atau lupa?"

Sena menggeleng cepat. "Aku percaya. Tidak lupa juga." Ia menghela pendek seolah menyiapkan diri untuk melakukan kontak mata dengan Dika. "Aku tahu saja kalau alasannya pasti lebih dari satu. Jadi biar pertanyaannya kutambahi... Ini pasti bukan sekedar karena kamu ingin minta maaf sama Paman dan Bibimu, ya kan?"

"Boleh peluk tidak, Na? Saya senang sekali soalnya, ternyata kamu bisa paham saya sebegini jauh."

"Kalau kamu berani saja! Tehku masih sisa setengah ya! Bisa dipakai buat senjata!"

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang