Wattpad Original
This is the last free part

Tujuh

66.5K 7.1K 814
                                    

Puspa mencerap langit-langit kamar barunya dalam diam. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi kantuk tak kunjung menggelayut di ujung matanya, walaupun seluruh badannya terasa pegal.

Otaknya yang terus terjaga, seolah mengkhianati tubuhnya yang butuh istirahat. Puspa terus memikirkan kejadian yang dia alami seharian ini. Memang Kafka menyebalkan, seperti yang teman-temannya katakan. Bayangkan saja, pemuda itu terus membuatnya mondar-mandir seolah tak ada istirahat untuknya.

Bukan hanya itu, Kafka sengaja membuatnya melakukan pekerjaan ulang, hanya karena kesalahan sepele, atau bahkan kesalahan yang sengaja Kafka ciptakan. Pemuda itu seolah sengaja membuatnya kesal, mulai dari menyuruhnya empat kali membuat kopi karena tidak sesuai dengan permintaan, bolak-balik mengatur suhu ruangan agar sesuai permintaan pasiennya itu, dan bahkan Kafka menuduh Puspa hendak membunuhnya, karena sabun cair yang gadis itu tata sebaik mungkin, terciprat di lantai. Padahal Puspa yakin sekali sudah menata sesuai urutan sedemikian rupa, keperluan mandi Kafka dalam cawan-cawan plastik kecil, agar pemuda itu mudah mengambilnya.

Namun, di sisi lain, Puspa merasa kasihan pada Kafka. Pemuda itu masih dalam fase denial pada keadaannya. Kafka belum bisa sepenuhnya menerima keadaannya yang sekarang, sehingga sadar atau tidak, pemuda itu ingin orang lain juga merasakan penderitaan seperti yang dia alami.

"Apalagi orang terdekatnya nggak ada," gumam Puspa tanpa sadar.

Puspa tidak menyalahkan Bu Emma dan suami. Hanya saja, akan lebih mudah menangani Kafka jika orang-orang terdekatnya ikut mendukung.

"Tapi, kalau Pak Kafka ikut Bu Emma ... gue nggak bakal kerja di sini kan ya?" tanyanya entah pada siapa. "Berarti ini emang rezeki buat gue. Semangat, Puspa!"

Gadis itu tersenyum sendiri, dan berjanji dalam hati, akan berusaha menulikan telinganya dari ucapan-ucapan Kafka yang menyakitkan.

Merasa sedikit haus, Puspa beranjak dari ranjang dan menuju dapur. Kata Bi Mutik, Bu Emma berpesan agar Puspa menganggap rumah ini seperti rumahnya sendiri, tapi tentu saja Puspa tahu diri untuk tidak berbuat di luar batas kewajaran.

Saat melewati kamar Kafka, gadis itu samar-samar mendengar suara gaduh. Puspa mengetuk pintu dengan khawatir.

"Pak? Pak Kafka?"

Nihil. Tak ada sahutan ketus dari dalam. Mendengar suara gaduh semakin jelas, Puspa membuka pintu kamar yang memang tidak dikunci itu. Setengah berlari, dia menghampiri Kafka yang mengigau dengan suara lumayan keras, bahkan hingga muncul peluh di dahinya.

"Jangan pergi ... jangan pergi." Kafka terus mengucapkan kalimat itu, walau Puspa sudah berusaha membangunkannya.

"Pak, bangun, Pak!" seru Puspa setengah berteriak, karena Kafka masih belum terjaga, padahal gadis itu menggoyangkan bahunya lumayan keras.

Tak habis akal, Puspa meraih kedua tangan Kafka dan menyelipkan jemarinya di tangan Kafka yang awalnya tadi menggenggam erat.

"Bangun, Pak. Saya nggak pergi. Saya di sini. Saya—"

Kafka tersentak dan membuka mata. Entah karena genggaman Puspa yang terlampau kuat, atau memang ucapannya yang masuk ke alam bawah sadar pemuda itu. Kafka terengah-engah, berusaha mengumpulkan napasnya yang tercecer.

Mendesah lega, Puspa berujar, "Syukur Bapak bangun. Saya khawatir banget tadi."

Menyadari kehadiran Puspa, Kafka menoleh ke sumber suara yang berasal dari sebelah kanannya. "Ngapain kamu di sini?" tanya Kafka tak bersahabat.

Alih-alih menjawab, Puspa malah terdiam melihat Kafka melihat ke arahnya walaupun arah pandangannya tak fokus. Baru kali ini dia melihat Kafka tanpa kacamatanya. Mungkin tadi karena terlalu panik, Puspa tak menghiraukan mata yang tampak dingin itu.

"Sana kembali ke kamar kamu!" Seruan Kafka, membuat Puspa kembali tersadar.

Puspa baru saja akan kembali ke kamarnya, ketika dia melihat Kafka berusaha menggeser badannya ke bagian kanan ranjang. Pemuda itu tampak meraba-raba nakas di sisi tempat tidurnya.

"Bapak butuh sesuatu?" tanya Puspa sopan.

"Kamu masih di sini?" Suara Kafka yang meninggi, bukanlah pertanda yang baik. Namun, karena seharian ini Puspa mendengar suara melengking itu berulang-ulang, dia menganggap itu hal yang wajar.

Puspa kembali mendekat. "Bapak butuh apa? Biar saya ambilkan."

Kafka tak menjawab, tapi tangannya berusaha membuka laci dan meraba-raba sesuatu di dalamnya. Mata Puspa menyipit ketika pemuda itu mengambil obat dari laci itu dan berusaha mengeluarkan tablet dari stripnya.

Zolpidem?

"Bapak ... maaf kalau saya tanya-tanya. Sejak kapan Bapak mengonsumsi obat tidur?"

"Bukan urusan kamu." Kafka hendak meraih gelas dari nakas, tapi tangan Puspa menahannya, dan mengambil obat itu dari tangan Kafka.

"Jelas urusan saya, Pak, karena obat yang Bapak konsumsi itu bukan obat sembarangan, harus dengan resep dokter. Efek jangka panjangnya nggak—"

"Terus, kalau saya semalaman nggak bisa tidur, kamu mau tanggung jawab?"

Mendengar ucapan Kafka, Puspa curiga pemuda itu sudah sering menggunakan obat tidur untuk mengatasi gangguan tidurnya. Dengan cepat, Puspa membuka laci nakas di sisi tempat tidur Kafka, dan dia menemukan satu strip lain yang masih utuh.

Segera diambilnya obat itu, tapi tanpa sengaja tangannya menyenggol sesuatu yang ada dalam laci. Sebuah kotak kecil berlapis beledu biru, yang Puspa tahu sebagai tempat menyimpan cincin.

Berusaha mengenyahkan pemikiran yang sempat melintas di otaknya, Puspa kembali berujar sesopan mungkin, "Tadi sebelum ini Bapak sudah bisa tidur kan? Saya kira Bapak nggak butuh obat ini. Obat ini biar saya bawa."

"Kamu tahu apa soal saya? Baru kerja sehari aja udah sok tahu. Balikin obat saya!"

Puspa menggeleng, yang sayangnya tak bisa dilihat Kafka. "Pantes aja Bapak gampang emosi. Ternyata Bapak kurang istirahat. Mana paginya di-doping pakai kopi lagi, bener-bener deh Bapak ini."

"Kalau kamu sok tahu kayak gini, saya bisa mecat kamu sekarang juga."

Puspa terkekeh pelan, sengaja dibuat-buat agar Kafka jengkel. "Wah, Bapak salah sangka nih. Emang Bapak yang gaji saya? Saya kerja bukan buat Bapak lho, tapi buat Bu Emma. Dan Bu Emma berpesan, saya boleh melakukan apa pun yang menurut saya baik untuk menunjang kondisi kesehatan Pak Kafka. Jadi, maaf ya, Pak."

Puspa meninggalkan kamar Kafka tanpa memedulikan pemuda itu yang berseru memanggilnya. Kafka menggeram jengkel dan berusaha memejamkan matanya lagi, tapi bayangan mimpi buruknya kembali berkelebat membuatnya sulit terlelap.

Kafka mendesah panjang. Sudah hampir dua bulan ini dia mengalami mimpi buruk berulang. Memang tidak muncul setiap hari, tapi ketika mimpi itu muncul, dia sulit untuk kembali tidur, hingga membutuhkan bantuan obat tidur agar tak terjaga semalaman.

Pintu kamar terbuka lagi, membuat Kafka menajamkan pendengarannya.

"Pak, ini saya bikinin teh peppermint, supaya Bapak lebih rileks dan lebih mudah tidur."

Kafka enggan bangun dari posisi berbaringnya, membuat Puspa mendesah lelah. "Tenang aja, Pak, nggak kayak comberan kok rasanya. Saya sendiri heran, Bapak pernah ngerasain comberan di mana sampai nyebut kopi saya kayak gitu."

Kafka masih bergeming, membuat Puspa menyerah dan meletakkan cangkir teh peppermint itu di nakas sisi tempat tidur Kafka. "Ya udah, saya taruh di nakas sebelah kanan ya, Pak. Kalau Bapak udah capek pura-pura tidur, diminum dulu tehnya."

Mendengar suara pintu ditutup, Kafka bangun dari posisinya dan meraba cangkir yang ada di nakas. Pemuda itu menghirup aroma teh peppermint kuat-kuat, seolah ingin mengisi paru-parunya dengan aroma yang menenangkan itu sebelum akhirnya menyesap teh tersebut.

"Enak kan, Pak?"

Burrr!!

Kafka yang terkejut, tanpa sengaja menyemburkan teh yang ada di mulutnya, karena ternyata Puspa hanya pura-pura meninggalkan kamar.

***

icon lock

Show your support for Alifiana, and continue reading this story

by Alifiana
@matchaholic
Puspa bekerja sebagai perawat home care untuk Kafka yang mengalami ke...
Unlock a new story part or the entire story. Either way, your Coins help writers earn money for the stories you love.

This story has 39 remaining parts

See how Coins support your favorite writers like @matchaholic.
Icy EyesWhere stories live. Discover now