Wattpad Original
There are 5 more free parts

Dua

63.1K 5.5K 198
                                    

"Bangun, Fi." Kafka menggoyang-goyangkan bahu Fiona ketika mereka tiba di depan rumah gadis itu. Kafka maklum jika gadis itu terlelap, padahal malam belum terlalu larut. Kombinasi antara kelelahan dan kekenyangan, menghasilkan rasa kantuk yang luar biasa.

Belum sampai pemuda itu membangunkan kekasihnya, ponsel Fiona yang tergeletak di dasbor, berdering.

"Fiona," panggilnya sekali lagi, sedikit jengkel karena gadis itu tidak kunjung bangun meski ponselnya berdering sejak beberapa saat lalu. "Bangun, hey, itu hape kamu bunyi."

Merasa penasaran, Kafka melirik sekilas si Pemanggil. Hatinya seketika memanas saat melihat nama 'Pak Gama' terpampang di layar. Atasan Fiona itu selalu saja berhasil membuat mood-nya berantakan seketika. Fiona selalu cepat tanggap dan mendahulukan atasannya, membuat Kafka kadang merasa terabaikan. Lagi pula, kini untuk apa pemuda itu menghubungi calon istrinya di luar jam kerja?

Ah, calon istri ...

Seperti remaja labil, kedongkolan Kafka yang semula mendekati level dewa, kini menurun seketika. Dia tersenyum mengejek pada layar ponsel yang tidak bersalah itu. Kafka yang sering cemburu pada Gama, kini merasa di atas angin atas apa yang telah dia lakukan pada Fiona beberapa waktu yang lalu.

Merasa tak tahan dengan deringan ponsel untuk kesekian kali, segera saja Kafka menyentuh tombol hijau pada layar ponsel Fiona.

"Halo," sapanya sinis.

Ada jeda lama di seberang, sebelum akhirnya sebuah pertanyaan muncul. "Maaf, ini hape-nya Fiona, kan?"

"Iya, tapi Fiona baru aja tidur. Anda siapa?" tanya Kafka pura-pura tidak tahu.

"Saya Gama, uhm ... rekan kerja Fiona." Terdengar helaan napas pelan, sebelum akhirnya Gama berujar, "Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin mengingatkan Fiona untuk menyiapkan bahan presentasi meeting besok siang."

Kafka mendengus pelan. "Saya tahu, Fiona orang yang sangat teliti dan profesional. Saya rasa, Anda tidak perlu repot-repot mengingatkannya."

"Saya hanya—"

Kafka tak begitu mendengar lanjutan kalimat Gama, karena Fiona terbangun. Gadis itu menguap lebar seraya merenggangkan kedua tangannya. Dia mengerjap beberapa saat untuk mengumpulkan nyawanya yang tercecer, lalu bertanya pada kekasihnya. "Siapa, Ka?"

"Pak Gama."

"Hah?" Secepat kilat, Fiona merebut ponselnya dari tangan Kafka. Entah untung atau buntung, Gama tak mematikan panggilannya dari tadi. "Halo, Pak? Oh iya, Pak. Sudah saya siapkan. Sebelum Bapak datang, saya jamin sudah ada bahan presentasi di meja Bapak." Kekasihnya tersenyum kecil, membuat Kafka yang sedari tadi memperhatikan Fiona, ingin melempar ponsel gadis itu ke luar. "Iya, Pak, cuma ketiduran. Saya baik-baik aja kok, nggak kecapekan."

"Apa?" Fiona menatap Kafka dengan wajah gusar, sesaat setelah dia mengakhiri panggilan itu.

"Aku baru tahu ada atasan sebaik itu."

Fiona membuang napasnya kasar. "Nggak usah mulai deh, Ka. Kita sering bahas ini sebelumnya. Pak Gama juga tahu kok aku punya pacar. Jadi, kamu nggak usah cemburu kayak bocah labil lagi."

"Bocah labil kamu bilang?" tanya Kafka dengan nada tinggi. "Gimana aku nggak cemburu kalau kamu apa-apa selalu mendahulukan dia? Dia juga kayaknya perhatian sama kamu, dan kamu seneng-seneng aja dapet perhatian dari dia."

Fiona menghela napas pelan, sadar akan keributan yang baru saja dia sebabkan hanya karena tersenyum mendengar perhatian dari atasannya.

"Ka ...," katanya pelan, berusaha sabar menghadapi Kafka yang entah kenapa selalu emosi jika ada sesuatu berkaitan dengan Gama. "Pak Gama, dulu kakak tingkatku waktu kuliah. Aku juga bisa masuk ke perusahaan itu atas rekomendasi dari dia. Aku pernah cerita ke kamu soal ini, kan? Jadi, menurutku wajar dong kalau aku membalas kebaikan dia. Kita pacaran bukan cuma sebulan dua bulan lho, Ka, hampir dua tahun. Kalau kamu nggak percaya, buat apa tadi kamu ngelamar aku?"

Raut ketegangan di wajah Kafka sedikit mengendur setelah mendengar penjelasan Fiona. Diraihnya tangan gadis itu dan digenggamnya erat. "Sori ya yang tadi. Aku kelepasan lagi. Aku cuma ... nggak suka, ada cowok lain, telepon kamu malam-malam gini."

"Ya ampun, Ka. Malu sama umur!" sembur Fiona jengkel. Memang Kafka satu tahun lebih muda darinya, tapi Kafka sudah cukup dewasa untuk tidak berbuat konyol seperti tadi. "Lagian ya, dia itu cuma 'Gamma', sementara kamu, selalu jadi 'Alfa' buat aku."

"Hah?"

Fiona memutar bola mata sebal karena Kafka tak paham kalimatnya. "Iya ... alfa, beta, gamma ...."

"Oh, ceritanya kamu lagi gombalin aku?" tuduh Kafka dengan seringai jahil di terpatri di wajahnya, seolah lupa dengan kemarahannya tadi.

"Udah ah, ngantuk!" Gadis itu kembali menekuk wajahnya sebal dan hendak beranjak dari duduknya, tapi Kafka malah menariknya dalam pelukan.

"I'm sorry and I mean it. Maaf kalau kadang aku kekanak-kanakan dan belum bisa mengimbangi kamu. Aku bakal berusaha lebih baik lagi ke depannya. Dan aku nggak sabar nunggu orang tuaku pulang buat ngabarin kabar bahagia ini."

Fiona menguraikan pelukan Kafka dan tersenyum samar. "Terima kasih juga karena kamu mau milih aku. Bukan cuma kamu, aku juga akan berusaha lebih baik ke depannya, supaya Papa kamu ... nggak sinis sama aku."

Kafka menggeleng seraya mendesah pelan. "Mulai lagi deh. Papa memang orangnya gitu. Bukannya bermaksud sinis sama kamu, tapi memang bawaan dari lahir mukanya datar gitu. Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, Fi."

Fiona tersenyum canggung, lalu mengangguk pelan.

"Udah sana tidur. Sampaikan maaf buat Pak Gama karena aku nggak sopan tadi," lanjut Kafka seraya menyelipkan anak rambut Fiona ke belakang telinga.

Fiona mengiakan, sebelum akhirnya menutup pintu mobil.

***

Lantunan lagu Dari Mata yang dinyanyikan oleh Jaz, mengiringi Kafka membelah kemacetan ibu kota. Jakarta dan macet sudah seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pemuda itu baru saja mengantarkan Fiona pulang, dan kini dia sendiri harus berjuang menghadapi kemacetan, untuk sampai ke rumahnya.

Dering ponsel dari dalam saku celana, membuat konsentrasinya sedikit terpecah. Kafka melihat nama dan foto Fiona bersamanya saat liburan ke Lombok bulan lalu, terpampang di layar.

"Halo, Fi," sapa Kafka begitu menggeser tombol hijau ke samping. Pemuda itu mendengarkan kalimat Fiona dengan saksama sebelum akhirnya menjawab, "Hah? Lipstik ketinggalan?" Kafka mendengarkan ucapan kekasihnya, seraya memutar arah kemudi untuk mencari jalan tikus yang bebas dari kemacetan ibu kota.

Merasa melewati area yang lumayan sepi, Kafka memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Matanya melirik ke sana kemari, mencoba mencarikan lipstik Fiona yang menurut gadis itu, tertinggal di mobil Kafka.

"Emang harus pakai lipstik itu? Pakai yang lain dulu kan bisa."

"Itu lipstik favorit aku, Ka. Besok pagi bawain ya, pas jemput." Fiona sedikit merajuk.

"Entar deh aku cari. Ini masih di jal—"

Ucapan Kafka terputus, saat sebuah motor memotong jalan di depannya dengan tiba-tiba. Kafka yang konsentrasinya sedang terpecah, langsung membanting setir ke arah kiri untuk menghindari tabrakan.

Kafka yang lepas kendali, tak bisa menahan laju mobilnya hingga menabrak pohon mahoni yang ada di tepi jalan dengan keras. Sementara itu, pemuda yang lupa mengenakan sabuk pengaman tersebut terpelanting dan kepalanya menghantam kemudi.

"Kenapa, Ka?! Ada apa?!" Suara panik Fiona, sayup-sayup masih terdengar dari ponsel Kafka.

Kafka yang masih setengah sadar, berusaha bangkit dan meraih ponsel yang terlempar tak jauh dari jangkauan tangannya.

"Fi...," gumamnya lemah, berusaha memberi tahu keadaannya pada sang kekasih. Sayangnya, belum sampai tergenggam penuh, ponsel tersebut terlepas dari tangannya.

Pemuda itu merasakan seluruh badannya sulit digerakkan dan kepalanya terasa dihantam godam dengan brutal. Sedikit demi sedikit, kesadaran Kafka mulai menghilang, hingga akhirnya, hanya kegelapanlah yang mendekapnya.

***

Icy EyesWhere stories live. Discover now