Wattpad Original
There is 1 more free part

Enam

50.9K 6.1K 411
                                    

Buurr!!

"Ini pasti bukan kopi buatan Bi Mutik!" Kafka menyemburkan kopi yang tengah dia sesap, tepat ke hadapan Puspa yang berdiri tak jauh darinya. Untung saja semburan kopi itu hanya mengenai bagian bawah pakaiannya.

"Bi Mutik lagi nyuci piring, Pak. Jadi, saya yang—"

"Oh, jadi kamu yang bikin. Pantes rasanya kayak comberan."

Inginku berkata kasar! Sabar, Puspa. Kalau lo marah, makin seneng dia.

Akhirnya Puspa hanya bisa mendengus kasar dan menatap penuh cemooh ke arah Kafka. Ini hari pertamanya bekerja di kediaman keluarga Alamsjah, setelah hampir seharian kemarin, mengobrol dan diajak berkeliling rumah oleh Bu Emma.

Menurut Bi Mutik, Bu Emma sudah menyusul suaminya ke Jepang, dengan penerbangan sore, sepulangnya Puspa dari rumah itu.

Puspa sendiri datang ke kediaman keluarga Alamsjah sekitar pukul delapan pagi tadi, dengan membawa sebuah travel bag berukuran besar dan sebuah ransel berukuran sedang.

Bi Mutik sudah menyiapkan kamar tamu yang tak jauh dari kamar Kafka. Gadis itu langsung meloncat ke kasur ketika Bi Mutik baru saja keluar menutup pintu. Kamar tamu yang dia tempati sekarang, bahkan dua kali lebih besar dari pada kamar indekosnya. Memang kamar tamu ini jauh lebih kecil jika dibanding dengan kamar Kafka, tapi tetap saja Puspa merasa kamar ini begitu luas.

Kamar yang didominasi warna krem dengan sentuhan peach di beberapa bagian ini tampak begitu cerah. Apalagi jendela kamar langsung menghadap ke halaman depan kediaman Alamsjah, yang tampak asri dengan pohon-pohon hijau yang masih rimbun.

Lantai kayu mengilat, berlapis karpet beledu warna cokelat, membuat Puspa mengira-ngira berapa biaya yang dikeluarkan keluarga Alamsjah untuk mendekor kamar ini.

"Heh, Kucing! Budek ya?"

Suara ketus Kafka membuat Puspa tergagap, tersadar dari lamunannya beberapa saat yang lalu. "Maaf, Pak. Tadi, Bapak bilang apa ya?"

Kafka mendecak berlebihan. "Ini Mama mungut orang dari mana sih? Udah lemot, budek pula! Saya minta bikinin kopi baru! Malah ngelamun!" Puspa hanya bisa menggenggam buku-buku jarinya hingga memutih, menghadapi mulut pedas pasien barunya.

"Denger nggak?" ulang Kafka dengan nada meninggi.

Menghela napas kesal, Puspa berusaha berucap sekasual mungkin, sambil menahan amarah yang memuncak, "Saya yakin orang tua Bapak memilihkan sekolah terbaik buat Bapak. Sayang, Bapak terlalu bebal untuk sekadar belajar mengucapkan kata 'tolong'."

Wajah Kafka merah padam mendengar ucapan Puspa yang baginya terdengar ketus. "Kamu bilang apa?"

"Saya nggak bilang apa-apa! Saya tadi kumur-kumur!" geram Puspa tertahan.

Puspa keluar membawa nampan berisi cangkir kopi Kafka. Gadis itu bermaksud menutup pintu dengan pelan. Namun, emosi yang menjalar di seluruh tubuhnya, membuatnya tanpa sengaja, membanting pintu dengan kasar.

***

"Bi Mutik, takaran kopi buat Pak Kafka itu seberapa sih?" tanya Puspa pada Bi Mutik yang baru saja selesai mencuci tumpukan piring yang menggunung.

Bagaimana tidak menggunung? Puspa mencoba hampir semua makanan yang ada di meja makan, saat Bi Mutik menawarinya sarapan. Wanita yang sudah lama bekerja untuk keluarga Alamsjah tersebut menyiapkan ini semua, karena Bu Emma berpesan untuk menyambut Puspa sebaik mungkin.

"Kopi bikinan saya dibilang kayak comberan nih, Bi," keluh Puspa dengan wajah sekumal air rendaman cucian.

Alih-alih prihatin, Bi Mutik malah terkikik geli mendengar ucapan Puspa. "Sebenernya nih, Mbak, saya nggak pakai takaran sendok. Wong saya pakai ini," ucapnya seraya mengambil sebungkus kopi instan tanpa gula, dari kitchen cabinet bagian atas. "Mas Kafka sukanya kopi pahit, Mbak."

You don't say!

Puspa memaksakan tersenyum walau pada akhirnya malah kelihatan aneh, menyerupai meme Nicolas Cage yang tersebar di internet.

"Tadi Mbak Puspa nggak tanya. Saya kira mau bikin kopi buat Mbak Puspa sendiri."

"Ya, tadi Bi Mutik masih nyuci piring. Saya niatnya bantu."

"Itu bawahan Mbak Puspa kena siraman kopi ya?" tanya Bi Mutik sembari memanaskan air dan menuangkan sebungkus kopi instan ke dalamnya.

Melipat kedua tangannya di depan dada, Puspa menyahut, "Bukan siram lagi, Bi, disembur! Udah kayak dukun tuh Pak Kafka."

Wanita yang sudah lama bekerja untuk keluarga Alamsjah itu tersenyum maklum melihat kejengkelan Puspa. "Maafin Mas Kafka ya, Mbak. Sejak kecelakaan, semuanya berubah. Padahal dulu Mas Kafka nggak gitu. Mbak Puspa yang sabar ya? Saya kasihan lihat Bu Emma harus bolak-balik kalau nggak ada perawat. Sebenarnya, saya bisa sih ngerawat Mas Kafka, tapi ... Bu Emma penginnya saya ngurus urusan rumah aja, biar nggak terlalu capek."

Puspa tersenyum kecil, menyadari Bu Emma begitu perhatian pada orang-orang di sekitarnya. Berkebalikan sekali dengan putranya itu.

"Semoga aja saya betah sama mulutnya yang udah kayak bhut jolokia," jawab Puspa sembari memutar bola matanya sebal.

Mengernyit heran, Bi Mutik bertanya, "Opo to itu, Mbak?"

"Cabe paling pedas di dunia, Bi." Puspa tertawa geli, mendapat julukan baru untuk Kafka, membuat Bi Mutik ikut-ikutan tertawa lebar.

"Owalah, lombok to. Saya yakin Mbak Puspa betah kok. Buktinya kemarin Bu Emma cerita, Mbak Puspa berani nantang Mas Kafka," tukas Bi Mutik seraya menuangkan kopi ke dalam cangkir dan membiarkan Puspa yang mengaduknya. "Bu Emma kayaknya seneng ada yang bisa bikin Mas Kafka nurut. Maksudnya nurut ikut tantangan gitu. Yang sebelum-sebelumnya mana pernah berani sama Mas Kafka. Kata Bu Emma, sekali-sekali, Mas Kafka harus digituin, biar nggak seenaknya bikin ulah lagi."

"Emang saya pawangnya Kafka?"

Teeet!

"Kucing!" Puspa bisa mendengar sayup-sayup suara Kafka yang berteriak dari dalam kamar setelah membunyikan bel.

"Tuh! Udah teriak-teriak aja! Saya kasihan sama pita suaranya kalau rusak."

"Jangan dong, Mbak," sela Bi Mutik cepat. "Nanti Pak Kafka nggak bisa nyanyi lagi dong."

Nyanyi? Halah, paling kamar mandi idol!

Dengan langkah cepat, Puspa kembali ke kamar Kafka dan menyajikan kopi di meja samping kursi roda. Kafka sendiri kini duduk menghadap langsung ke arah jendela yang terbuka lebar, sehingga tirai-tirainya sedikit berkibar karena tiupan angin.

"Duh, Pak. Kenapa duduk dekat jendela? Tadi malam hujan, jadi anginnya dingin, nanti Bapak masuk angin." Dengan cekatan Puspa menutup jendela yang tadi pagi dibuka Bi Mutik. "Ini kopinya. Semoga kali ini sesuai dengan selera Pak Kafka."

Puspa memberikan cangkir kopi pada Kafka sembari tersenyum penuh kemenangan.

Mau protes apalagi lo? Selama ini dikibulin pakai kopi saset aja belagu!

Kafka menyesap kopi yang disuguhkan Puspa. Pemuda itu terdiam sesaat, membuat Puspa tersenyum lega karena tak perlu membuat kopi untuk ketiga kalinya.

Burrr!!

"Astaga! Apa lagi sih, Pak?" tanya Puspa tak bisa lagi menahan kejengkelannya.

"Ini kopinya terlalu panas!"

Dia pasti sengaja! Tadi dia diem aja! Kentara banget pengin ngerjain gue! Dasar Bhut Jolokia!

***

Icy EyesWhere stories live. Discover now