Arya mendengus namun tetap balas menepuk pundak Vian. "Terima kasih, Pak Dokter."

Vian melengkungkan bibirnya membentuk sebuah kurva. "Sama-sama, Pak Dekan."

Mereka pun tertawa ringan bersama. Mengingat bagaimana perjuangan semasa sekolah dahulu, sulit rasanya percaya dengan titel yang mereka sandang sekarang. Arya menyatukan kepalan tangannya dengan Vian sebelum benar-benar melangkah menuju fakultas binaannya. Akan ada banyak pertanyaan yang menunggunya sehabis ini. Mulai detik itu pula, ia harus membiasakan diri sebagai seorang kakak lagi. Status yang dihapuskannya secara sepihak dua belas tahun yang lalu.

Dari kejauhan, kedua lensa Arya menangkap potret Rama yang dengan girang melangkah menuju parkiran sembari merangkul Rean dan Chelia.

Arya menghela napas dan tersenyum tulus. "Kau sudah besar, adik kecil."

⚛️⚛️⚛️⚛️⚛️

Cassy sibuk menilik cowok di hadapannya yang sedang bertukar data dengan Edward. Bukan cowok ganteng serupa idol Korea. Hanya seonggok manusia berwajah asimetris yang urakan. Namanya Imam, super senior mereka yang tak kunjung lulus dan masih bergentayangan di kampus sehingga dijuluki Imam Mahdi, Mahasiswa Abadi.

Sejujurnya Cassy tidak benar-benar berniat menemani Edward untuk bertemu dengan senior yang kemeja, rambut, dan wajahnya sama-sama kusut itu. Bila bukan karena canggung akibat keberadaan Arya selaku dekan fakultas di tengah-tengah mereka, Cassy masih betah duduk manja di atas sofa empuk poliklinik. Arya tidak sehangat Riva, pun tidak seramah Vian. Ditambah lagi kebiasaannya mengusut nilai IPK yang bagi Cassy hanya Tuhan dan ibunya yang boleh tahu.

"Kamu kirim video yang tadi?" Selidik Cassy begitu senior bernama Imam itu pamit dan menghilang di balik ruang senat.

Edward mengangguk, video berkapasitas puluhan megabyte itu berisi rekaman kejadiaan di laboratorium tadi yang diambilnya secara sembunyi-sembunyi, sebagai barang bukti jikalau Aldo mengelak dan membela diri.

"Kalian tahu Notix, kan?"

Cassy mengangguk. Seluruh manusia bahkan arwah penunggu di jurusan farmasi sekalipun tahu dengan akun berita popular dengan ribuan followers yang seceriwis Lambe Turah tersebut. Laman media yang yang belakangan ini terus menjadikan Dandy dan ajang percobaan bunuh dirinya sebagai topik utama. Orang-orang menyebutnya akun hantu, sebab meski telah ada sejak jaman facebook di angkatan terdahulu, sosok yang berada di baliknya belum diketahui sampai sekarang.

"Notix?" ulang Erva.

Cassy berpaling pada Erva sambil mendengus. "Kamu nggak pernah buka Instagram?"

Erva menggeleng. "Akunku tidak bisa terbuka. Passport-nya salah terus"

"Password, Va." Edward membenarkan.

"Iya, maksudku itu. Passport."

"Mein Gott! Kata sandi saja deh, biar nggak ribet."

"Sandi siapa, Eddy?" tanya Erva tanpa dosa.

"Sandiaga Uno!"

"Aduh, Erva! Bisa nggak kamu nggak loading dulu!" Cassy menarik pipi Erva dengan gemas.

"Tapi kok password-mu bisa salah? Lain kali jangan buat password yang susah-susah."

"Nggak susah kok, Eddy. Passport-nya kuganti sesuai tanggal di hari itu."

"Terus, itu hari apa?"

"Hari senin."

"Maksudku tanggalnya, Erva ...!" Cassy gregetan sendiri.

Prescriptio☕  Where stories live. Discover now