Rama beralih pada chelia dan Rean. "Obatnya aman, kan?"

Keduanya mengangguk. "Kecuali kalau kamu punya riwayat penyakit hati," jelas Rean dan dibenarkan Vian.

Rama memegangi dadanya. "Nggak, kok. Hatiku yang suci bersih ini baik-baik saja. Eh, berarti obat ini nggak cocok buat Naya, dong!"

"Memang Naya punya penyakit hati?" Chelia membulatkan matanya, Arya dan Vian pun serempak menoleh.

"Iya, emosian dan suka marah-marah."

"Kayak narsis dan bangga diri itu bukan penyakit hati saja!" Arya mencemooh.

"Siapapun yang punya wajah tampan pasti akan narsis, kan Rama?" Vian merangkul Rama yang mengerutkan hidung sambil menjulurkan lidahnya pada Arya.

"Oh, Kak Vian yang jujur dan baik hati!" Rama balas merangkul Vian, "Kenapa kak Vian dan orang satu itu nggak jadi putra yang tertukar saja, sih!" bisiknya dengan frekuensi yang masih mampu mengetuk gendang telinga Arya.

"Bilang apa kamu barusan?!"

Rama mengedikkan bahu. "Punya gangguan telinga, ya? Silakan, poli THT di sebelah sana." Rama berujarnya santai, menunjuk bagian kanan gedung.

Arya maju beberapa langkah, namun sebelum tangannya yang terulur meraih telinga Rama, adiknya itu tiba-tiba berteriak.

"Meteor!"

Seluruh penghuni ruangan di sana spontan melihat keluar jendela, mengikuti telunjuk Rama yang kemudian mengambil kesempatan untuk kabur.

Di depan pintu poliklinik, Rama memberi salam pada Vian lalu mengisyaratkan Rean dan Chelia untuk menyusulnya. Chelia dan Rean segera membungkuk, meminta maaf pada Arya dan Vian kemudian pamit mengikuti Rama.

Sebelum berlalu, Rama menyempatkan memberi lambaian kecil pada Arya dan sebuah finger heart dengan ibu jari dan telunjuknya.

"Apa-apaan itu? Dia minta uang?"

Vian tertawa, Arya memang selalu kaku sedari dulu. Bahkan buku bacaan favoritnya sewaktu kecil adalah RPUL dan Atlas Buta. "Itu simbol hati. Makanya sekali-kali nonton drama."

"Hati?" Arya membuat simbol yang sama dengan jarinya. "Ada-ada saja!"

Vian makin tergelak. "Dasar tsundere."

Arya tidak menanggapi lagi dan sibuk menelaah resep di tangannya. "Dia benar tidak apa-apa, kan? Pasti sakit sekali." Arya meringis tertahan membayangkan kembali bagaimana asisten biadab itu memukul Rama. "Bedebah licik itu harusnya aku DO saja! Kau tahu? Dia sudah lama mengganggu Chelia. Kalau Riva tahu, bisa hancur pusat informasi dan pangkalan data kampus ini acak-acak olehnya. Untung Chelia bisa diajak berkompromi."

"Jadi apa keputusanmu?"

"Kuserahkan sepenuhnya pada tim ad hoc. Aku hanya khawatir kalau-kalau asisten itu membalas dendam di luar kampus."

"Itu tidak akan terjadi. Tenang saja. Mereka bukan anak kecil lagi." Vian merangkul pundak Arya, mengiringinya berjalan sampai pintu keluar poliklinik. "Aku tahu kau begitu menyayangi adikmu itu. Ini waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan kalian."

Prescriptio☕  Donde viven las historias. Descúbrelo ahora