Chelia mengalihkan perhatiannya begitu Rama dan Vian muncul dari balik ruang pemeriksaan. Asistensi mereka dibubarkan, Arya yang untungnya dapat menguasai diri menyerahkan masalah tersebut pada komite disipliner dan akan membentuk tim ad hoc.
Setelah dimintai keterangan, Chelia dan Rean menunggui Rama di poliklinik. Edward, Cassy, dan Erva sedang menemui seseorang, sementara Naya ada agenda rapat pengurus.
"Pendarahannya sudah berhenti, lukanya tidak dalam. Sepertinya akan bengkak beberapa hari, cukup kompres dengan air dingin saja," jelas Vian tanpa diminta melihat gelagat kekhawatiran di wajah Arya.
"Bengkak?! Gila! Uuuh!" Rama yang baru saja ingin protes kontan memegangi pipinya sambil mengaduh kesakitan. Arya menghampirinya dengan gelisah, namun detik selanjutnya langsung mengomel.
"Anak ini! Jangan banyak bicara dulu!" Arya menepuk kepala Rama.
"Apaan sih, main pukul! Kalau otakku yang berharga ini mengalami gangguan bagaimana? Lukanya bisa tambah parah, tahu!" Rama bersungut masih dengan diakhiri ringisan tertahan yang membuat Arya tanpa sadar ikut meringis.
"Jangan mengada-ada, dasar degil!"
"Pak dekan yang terhormat, otak itu pusat koordinasi tubuh yang terhubung dengan semua organ. Masa yang begituan saja nggak tahu! Iya kan, Sweetheart?" Rama meminta pembenaran dari Chelia yang senyum-senyum sendiri melihat tingkah keduanya.
Arya menoleh sebentar ke arah Chelia dan Rean. "Sweetheart? Chelia?"
"Jelaslah! Masa Rean!"
Arya lekas menghadiahkan Rama sebuah tatapan dongkol. "Demi apa Riva mengizinkanmu berteman dengan anak bengal ini, Chelia," desahnya frustrasi.
"Nggak ada analgesiknya, Kak? kelihatannya sakit banget tuh!" tutur Rean pada Vian melihat Rama yang mulai berakting memelas pada Chelia.
Vian menunjuk resep di tangan Rama. "Ada, dengan anti-inflamasi juga. Minum sampai bengkak dan nyerinya hilang saja."
Rean dan Chelia spontan mengamati resep yang ditulis Vian. Cukup rapi untuk tulisan tangan seorang dokter yang biasanya memerlukan daya akomodasi maksimum pupil mata untuk paling tidak bisa menerka nama obat yang tertulis dalam lembar privasi pasien tersebut.
Rama buru-buru menyerahkan resepnya pada Arya. "Nih, tebus sana!"
"Kenapa aku?!"
Rama melemparkan pandangannya ke sembarang arah. "Yang tadi mengakui aku sebagai adiknya, siapa?" Rama berdeham. "Dimana-mana itu, kakak yang bertanggungjawab atas adiknya," sambung dengan suara rendah.
Arya menyatukan kedua sisi bibirnya mendengar jawaban Rama. Hatinya mendadak dipenuhi perasaan bersalah. Ingin rasanya ia memeluk adiknya itu, meminta maaf, kemudian berbaikan seperti dulu. Sayang ia masih terlalu kikuk untuk melakukan tindakan emosianal tersebut.
"Baiklah, kemarin resepnya!" Arya merebut resep di tangan Rama. "Merepotkan saja!"
Rama mencebik. "Jangan pelit, deh. Gaji dekan itu lumayan besar. Apalagi untuk orang jomblo yang nggak ada tanggungan."
Arya menarik napas, menahan hasratnya untuk menjitak kepala Rama hingga jejak-jejak urat nadi membekas di pelipisnya. Beruntung apa yang dikatakan adiknya itu adalah sebuah realita.
YOU ARE READING
Prescriptio☕
Mystery / ThrillerMenjadi mahasiswa farmasi yang super sibuk seolah cobaan yang belum cukup bagi Rama dan kawan-kawannya. Berbagai kejadian misterius terjadi pada orang-orang yang memiliki masalah dengan salah seorang di antara mereka. Ketika persahabatan diuji oleh...
12. Notix ☕
Start from the beginning
