Kedelapan.

161 19 1
                                    


°°°

"Mas, kita bisa mampir sebentar nggak besok ke mall sebelum berangkat ke kantor imigrasi?."

Mas Sehun yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya, menatapku yang sibuk mengepak barang barang yang sudah ku pilih untuk ku bawa nanti, sebentar kemudian pergi untuk menggantung handuknya yang basah untuk mengeringkan rambutnya.

"Mau ngapain?." Tanya mas Sehun yang kini sudah bergabung denganku dan membantu melipat bajuku.

"Aku mau bawa semua ini mas. Tapi nggak muat kopernya." Keluhku menunjuk semua barang yang tergeletak dilantai.

Mas sehun tersenyum melihatku manyun. Mas Sehun maju untuk mencium ujung bibirku sebentar kemudian mengacak rambutku.

"Kamu emang nggak bisa pilih aja salah satunya? Lebihnya kita kirim ke jogja. Lagian disana nanti kan kamu bisa beli ginian." Mas Sehun menunjuk novel dan koleksi cd idol kesukaanku.

"Ya ampun sayang, gimana mau muat kopermu kalau yang kayak ginian aja kamu bawain?." Mas Sehun mengecek isi koperku yang sudah terbilang besar, dan mengeluarkan isinya.

"Ih mas!. Jangan diacak acak, kan udah Ifah rapihin." Bukannya berhenti, mas Sehun justru semakin semangat membongkar isi koper yang sudah ku susun susah payah sejak sore kami pulang dari kantorku.

"Ini kamu beneran mau bawa semua ini?. Ya ampun sayang, disana itu nggak sekampung itu kali sampai sandal jepit aja kamu bawa. Buat apa?." Tanya mas Sehun keheranan.

"Ini juga? Ya ampun sayang. Ngapain coba kamu bawa banyak mi instan segala?."

Mas Sehun terus saja mengkritik barang bawaanku membuatku manyun dan mogok bicara dengannya.

Memangnya kenapa kalau aku bawa sandal jepit? Siapa tahu disana tidak ada sandal rumahan macam sandal jepit milikku yang sudah ku beli dari 2 tahun yang lalu dan masih bagus sampai sekarang. Lihatkan? Made in indonesia itu awet!

Sadar kalau aku diam saja tidak menanggapi segala bentuk komentarnya, mas Sehun tersenyum sambil merapihkan rambutku yang sudah acak acakan karena ikatan rambutku yang ku buat asal.

"Marah ya?." Katanya pelan.

Mas Sehun kemudian memelukku dari samping, menenggelamkan wajahnya pada lekukan leherku membuatku merinding merasakan deru nafasnya berhembus.

"Sayang, apa sih yang bikin kamu mau bawa semua barang barang yang bisa kamu temuin disana?. Kan sudah ku bilang. Kita nggak akan pindah jauh sayangku. Ini cuma singapura lho. Bukan eropa. Jadi disana kita masih bisa nemuin mi instan dan sandal jepit kayak yang kamu punya itu."

Nah, coba kek dia itu bicara begitu dari tadi. Baik baik gitu ngomongnya. Herannya, sejak sebelum menikah sampai sekarang dia sudah jadi suamiku, cara bicaranya itu tetap saja menyebalkan.

Apa dia nggak tahu kalau hatiku ini selembut benang sutera yang mudah putus?.

Ngomong apa sih kamu, Fah.

"Ya udah. Besok cariin aku kardus ya buat tempatin barang barang yang nggak mau aku bawa. Kamu juga harus bantu aku kirim itu ke kantor pos besok sebelum pergi ke imigrasi." Kataku masih dengan nada suara yang jengkel.

Mas Sehun tertawa dilekukan leherku. "Iya sayang."

"Kamu lucu banget sih kalau lagi marah." Kata mas Sehun kemudian mencium pipiku.

***

"Sayang, kamu lihat kaos kaki aku nggak?."

Pagi hari menjelang keberangkatan kami kesingapura, mas Sehun sudah sibuk mencari kaos kakinya yang sama sekali tidak aku hiraukan karena sibuk dengan riasanku.

"Sayang. Kamu denger aku nggak sih?." Merasa diabaikan terus terusan olehku, mas Sehun kemudian menghampiriku yang kini sedang mengoles bibirku dengan gincu merahku.

"Apa sih mas kamu nih. Minggir sebentar coba." Keluhku kepada mas Sehun yang kini justru memelukku dari belakang sambil menggoyang goyangkan tubuhku kekanan dan kekiri.

"Siapa suruh kamu asik sendiri." Jawabnya acuh.

"Minggir dulu sana. Nanti aku cariin kaos kakinya. Sekarang biarin aku dandan dulu!." Omelku kepada mas Sehun yang kini malah menenggelamkan wajahnya pada lekukan leherku.

Entah kenapa, mas Sehun suka sekali melakukan hal demikian. Berbeda denganku yang risih, mas Sehun justru terlihat sangat menyukainya.

"Minggir!." Ku cubit punggung tangan mas Sehun agar menyingkir kemudian membuka koper kecil dimana pakaian mas Sehun berada.

"Yang ini bukan?." Tanyaku yang langsung dijawab dengan anggukan antusian mas Sehun.

"Kok kamu bisa tahu aku lagi cari kaos kakiku yang ini sih sayang?. Ih hebat lho kamu. Aku dari tadi muter muter nyariin aja nggak ketemu, kamu dalam sekali percobaan langsung ketemu." Celotehnya panjang lebar yang sekali tidak aku tanggapi.

Ku tatap sekali lagi pantulan diriku sendiri didalam cermin untuk memastikan penampilanku sudah sempurna tanpa ada cela. Setelah berdrama dengan kenyataan yang mengharuskan aku untuk pindah, dan juga doaku soal mengurus pasportku yang kadaluarsa diperlama, akhirnya aku harus bisa menerima kenyataan kalau hari ini akan tiba juga.

Hari kepindahan ku dari jakarta ke singapura.

Masih tidak bisa ku bayangkan dikepalaku, biasanya aku mendengar nama singapura disebut adalah tempat untuk berlibur. Bukan tempat untuk menetap.

"Ayo, nanti kita ketinggalan pesawat lho." Mas Sehun kembali memelukku dari belakang.

Aku terdiam sejenak memandang pantulan diriku dan mas sehun didalam cermin. Mas Sehun tersenyum kepadaku kemudian mencium pipiku lama.

"Terimakasih sayang, sekali lagi terimakasih."

***

Diruang tunggu bandara international soekarno-hatta, mas Sehun selalu menggenggam tanganku dengan hangat. Meski kini mas Sehun nampak sibuk dengan ponselnya dan membiarkan aku sendirian dengan fikiranku, tapi Mas Sehun selalu memperhatikanku ketika sesekali helaan nafasku terdengar olehnya.

Rasanya seperti ketika akan menghadapi ujian masuk universitas atau sidang skripsi. Gugup dan panik. Semuanya jadi satu. Tapi seolah mas Sehun bisa merasakan itu semua melalui tanganku yang mendingin, mas Sehun mengeratkan genggamannya sambil tersenyum kearahku seolah ia mengatakan melalui tatapan matanya kalau ini tidak seburuk yang aku fikirkan.

"Mas." Ku sandarkan kepalaku pada bahu lebarnya yang senderable itu.

Mas Sehun berdehem menjawabku sambil jarinya tetap fokus mengetik sesuatu pada ponsel ditangannya.

"Tadi sewaktu ditaksi, dijalan menuju kesini, aku lihat tukang cilok ramai banget deh yang lagi antri beli, mas." Mas Sehun berhenti mengetik hanya untuk mendengarkanku yang entah sedang bicara apa.

"Kamu nggak lagi ngidamkan?." Tanyanya yang ku jawab dengan pukulan di lengannya. "Ya enggaklah mas!."

"Aku tuh mau tanya, disana ada nggak mas yang jualan kayak gitu?. Cilok pake saus cabai busuk, atau telur gulung pakai mecin?. Pasti nggak ada ya mas?."

Mas Sehun memasukan ponselnya kedalam saku celananya "emang kamu tau kalau cabai yang dipakai buat bikin saus itu cabai busuk? Sok tahu banget kamu?."

"Ih tahu aku ini mas. Jangan remehin aku. Sebagai orang yang doyan jajan, aku justru lebih tahu mana jajanan yang dipakein micin sama yang engga. Termasuk merek saus yang pakai cabai busuk aku tahu mas." Dan entah pembicaraan apa yang sedang kami bicarakan, ini terdengar begitu absurd untukku.

"Ya ampun berarti hidupmu nggak sehat banget ya, yangg." Komentar mas Sehun.

"Justru makanan yang kayak gitu yang bikin sehat mas!." Balasku yang ditanggapi mas Sehun dengan gelengan kepala.

Panggilan penerbangan yang akan kami naiki pun mulai terdengar. Membuatku tersenyum lega mendengarnya.

Jakarta, selamat tinggal.

MARRIED Mr. OhHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin