Dua: Waktu

738 44 22
                                    


Boy Alvian Wijaya

Pagi ini kaki gua melangkah di koridor IPS yang berada bersebrangan dengan jurusan gua, IPA. Gua ada di sini sebelum bel masuk karena gua baru saja ke kelas teman eskul gua.

Di mading ada pengumunan calon ketua OSIS hari ini dan gua belum lihat meski gua sendiri salah satu calonnya. Karena saat baru saja di sekolah, gua udah ditarik sama Arta ke kelasnya.

Kala gua berjalan di koridor ini, ada cukup banyak juga yang nyapa gua sambil ngomong soal pengumuman hari ini. Sebenarnya gua jarang ke area anak IPS.

Jalan sendiri di koridor IPS gini menyebabkan gua teringat seseorang yang gua kenal saat SMP.

Di tingkat kedua ketika kami duduk di kelas selesai makan di kantin, dia nanya apa cita-cita gua. Saat itu gua menjawab, "Waktu kecil pas ditanya gitu gua ingat jawaban gua mau jadi astronot. Tapi, jawaban itu berubah jadi gak tahu."

"Kok gak tahu?" sahutnya.

Gua menggedikkan bahu. "Kayaknya otak gua gak nyampe deh buat jadi astronot."

Kemudian dia merespons, "Ih pesimis." Sesaat berikutnya dia menambahkan, "Coba dulu. Masa nyerah gitu aja, sih?"

Gua malah mengalihkan topik dengan bertanya balik, "Kalau cita-cita lo apa?"

"Psikolog," katanya. "Kita bakal beda jurusan di SMA nanti."

"Kok udah tahu aja kita bakal beda jurusan? Kita aja belum bilang mau masuk jurusan apa nanti."

"Gua bakal masuk jurusan IPS dan lo IPA. Gak boleh menyerah gitu, Boy. Harus pantang menyerah dan berani menghadapi ketakutan lo."

Lagi-lagi gua mengalihkan pembicaraan. "Jurusannya beda. Sekolahnya juga beda gak?" Saat itu dia terdiam selepas mendengar pertanyaan tersebut.

Tak lama setelahnya dia menoleh ke kiri seraya membalas, "Gak tahu. Gua, sih ikut pilihan Ayah."

"Kenapa gak lo pilih sendiri?"

"Soalnya mungkin gua bakal pindah."

Setelah otak gua menyerap kalimat tersebut yang melewati indera pendengaran gua, gua terkejut sampai refleks merespons, "Pindah? Pindah ke mana?"

Chaca menggedikan kedua bahu tanpa bersuara, pertanda dia tidak tahu. Lantas gua bertanya, "Tapi, lo tahu kenapa pindah?" Chaca mengangguk. "Kenapa?"

"Karena pekerjaan Ayah gua."

Sebelumnya Chaca pernah bilang kalau dia pertama kalinya tinggal di daerah Jakarta. Tapi, gua baru tahu kepindahannya tersebut karena pekerjaan Ayahnya. Mengetahui ada kemungkinan mereka pindah lagi, dalam diam gua berharap pekerjaan Ayahnya Chaca terus menetap di Jakarta. Namun, harapan gua demikian gak terwujud.

Hampir seminggu kemudian setelah lulus, Chaca gak bisa dihubungi sama sekali. Mau ke rumahnya, tapi gua gak pernah main ke sana atau sekadar nanya alamatnya. Jadi, gua memutuskan nanya di grup dan ternyata ada yang sekomplek rumahnya dengan Chaca.

Dia pindah. Gak tahu pindahnya ke mana soalnya gua gak kepo banget sih

Perasaan gua berubah jadi kecewa dan kesal. Kenapa harapan gua gak terwujud? Kenapa kekhawatiran gua yang terwujud?

Lima bulan setelahnya gua masih merindukan Chaca dan teringat sebelum kenaikan kelas sembilan, dia menyatakan cinta ke gua yang saat itu gua hanya menganggapnya sebagai teman.

Gua dan Chaca tetap dekat setelah kejadian itu dan gak pernah terlintas dalam benak gua untuk memacari Chaca atau jatuh cinta dengannya.

Sampai saat itu gua masih merindukannya dan berharap akan ada pertemuan gua dan Chaca selanjutnya. Harapan gua tersebut terwujud membuat gua sangat senang.

Your LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang