"Sebentar lagi sampai. Saya sudah bilang ke Yolan, kalau kamu akan pergi bersama saya," jawab Saga dengan tenang berbanding terbalik dengan Lisa yang mengumpat Yolan dalam hati.

Benar saja, sepuluh menit kemudian mobil berbelok masuk ke dalam basement sebuah gedung. Lisa mengenal dengan baik gedung ini. Gedung apartemen Saga. Jantung Lisa berdetak semakin tak beraturan. Dirinya merasa kembali ke hari itu, hari di mana Saga membawanya ke apartemen pria itu membahas lebih lanjut mengenai rencana pernikahan mereka. Tapi, kali ini, yang mereka bahas mengenai perceraian. Time flies so fast.

"Sampai," ujar Saga dan melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Diikuti Lisa yang juga melakukan hal yang sama.

Masih banyak pertanyaan yang berputar dalam kepalanya sampai Lisa tidak menyadari jika mereka sudah berada di depan pintu apartemen. Bahkan, dia menabrak punggung Saga karena tak melihat jika pria telah berhenti.

"Ma-maaf," ucap Lisa malu dan mengusap hidungnya yang terbentur punggung lebar Lisa. Sialnya, harum tubuh Saga juga ikut menempel di hidungnya. Saga hanya tersenyum dan membuka pintu.

"Duduk dulu. Mau minum apa?" Tawar Saga ketika mereka berada di ruang TV.

"Air putih saja," ucap Lisa. Tidak sampai semenit, air mineral botol yang dingin sudah tersaji di depannya. Dia menatap agak lama sampai suara Saga membuatnya terkesiap.

"Nggak ada racun, tenang saja," kata Saga mencoba bercanda, tapi tidak berhasil. Tersenyum saja tidak, apalagi tertawa. Lisa membuka cepat tutup botol dan meneguk beberapa kali. Air dingin terasa begitu segar melewati kerongkongannya.

"Saya sudah boleh berbicara?" Tanya Saga polos. Wanita di hadapannya bingung. Bukankah, jauh-jauh dia membawa Lisa ke apartemennya, kenapa dia harus minta izin untuk bicara?

"Silahkan," jawab Lisa diikuti Saga menghembuskan napas panjang seperti tengah mempersiapkan diri.

"Lisa," Panggil Saga dengan lembut.

"Ya?"

"Saya berubah pikiran,"

Lisa memilih diam. Membiarkan Saga mengatakan apa yang ada di pikirannya. Dia meneguk kembali air putih yang bersisa setengah.

"Saya tidak ingin bercerai," ucap Saga dengan tegas dalam satu nafas.

Burrsstt!

Wajah Saga basah, dan terasa dingin oleh semburan air dari mulut Lisa.

"Ma-maaf!" Lisa panik dan mengeluarkan sapu tangan satin favoritnya. Bangun dari duduknya dan menyeka wajah Saga.

Sementara Lisa merutuki kebodohan dirinya, Saga malah tersenyum, menikmati setiap inci wajah Lisa yang sudah lama rasanya tidak dia lihat sedekat ini. Wanita ini semakin cantik, dan Saga semakin rindu.

Ketika Saga menangkap pergelangan tangan Lisa, wanita itu segera menatap Saga tepat di matanya.

"Apa jawaban kamu?" Gumam Saga.

"Jawaban apa?" Tanya Lisa pelan, namun sebenarnya mengerti maksud Saga. Saga menarik Lisa semakin dekat padanya, hingga dia berdiri diantara kaki Saga yang masih dalam posisi duduk. Kursi bar membuat tinggi mereka hampir setara.

"Saya tidak ingin bercerai dari kamu. Apa jawaban kamu, Lisa?" Tanya Saga sekali lagi.

"Kenapa tiba-tiba kamu nggak mau cerai, padahal awalnya kamu setuju," Lisa memalingkan wajahnya. Terlalu berbahaya menatap wajah Saga sedekat ini, selama ini.

"Maaf," Saga bisa melihat raut kecewa Lisa. "Baru mengatakannya sekarang. Karena suami kamu yang pengecut ini, baru berani menolak untuk bercerai sekarang. Saya harap, semuanya belum terlambat Lisa. Berikan saya kesempatan sekali lagi. Untuk membuat kamu bahagia," Saga mengangkat satu tangan Lisa, membawa ke depan bibirnya dan mengecup lembut punggung tangan yang halus itu. Lisa menggigit bibirnya dengan bimbang.

Are We Getting Married Yet?Where stories live. Discover now