16. Bersamamu yang Kurindukan

Mulai dari awal
                                    

“Hah? Nanti malam?” pekik Alea yang melihat jadwal acaranya di undangan tersebut. “Dadakan kayak tahu bulet.”

“Gue bukan mau nikah yang sebar undangannya seminggu lalu.” Kata Lidia. “Awas aja nggak dateng.” Lidia menunjukan tinjunya pada Alea.

“Iya iya. Tenang aja. Gue pasti dateng kok.” Jawab Alea. Tanpa sadar kelas ini sudah sepi. Hanya menyisahkan mereka berdua.

Okey, gue pegang janji lo. Btw, bawa pacar lo yang anak fakultas bisnis itu ya...” bisik Lidia. “Bye,” gadis itu melambaikan tangannya sebelum pergi.

Pacar? Alea tersenyum mendengar kalimat itu. Pacar yang Lidia maksud adalah Dimas. Ya, Dimas sekarang kuliah di Universitas yang sama dengan Alea. Tapi beda fakultas. Lelaki itu kuliah di fakultas bisnis.

Rasa sesak di dadanya saat ia mengetahui Dimas baik-baik saja sedikit mereda. Ternyata layar monitor yang menampakan lemahnya tanda vital itu sebuah komplikasi pascaoperasi yang telah dilakukan. Setelah semua itu berhasil dilewati keadaan Dimas baik-baik saja. Tiga hari setelah kejadian itu Dimas siuman. Sungguh betapa senangnya Alea. Mengetahui orang yang dicintainya itu tak akan pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Tak terasa satu jam telah berlalu. Setelah selesai dengan kelasnya, seperti biasa Alea pergi ke kafetaria fakultas Dimas. Menunggu lelaki itu selesai kuliah. Begitupun Dengan Dimas. Jika Alea pulang lebih lama ia akan menunggu gadis itu sampai selesai. Cuma mau pulang bareng. Tapi kenapa Dimas belum juga menemui Alea?

Alea pun membuka ponselnya. Mengirim pesan pada Dimas. Menanyakan mau berapa lama lagi kelasnya itu selesai. Biasanya jika kelasnya berlangsung lama Dimas akan mengirim pesan lebih dahulu untuk menyuruh Alea pulang duluan.

Kapan selesai?

Tumben lama?

Aku udah dari tadi nunggu nih?

Bales dong!

Ia melihat kembali pesan itu. Tak ada balasan. Apa Dimas masih di dalam kelas?

Jarum jam sudah menunjukan pukul lima sore. Suasana fakultas ini juga sudah mulai sepi. Tiba-tiba rasa takut yang pernah Alea rasakan muncul. Ia mulai gelisah. Teleponnya juga tak mau diangkat sama Dimas. Atau kalau memang Dimas sibuk ia cukup mematikan telepon dari Alea. Kenapa harus mengabaikan.

Apakah terjadi sesuatu?

Tidak mau menduga-duga. Alea berlari menuju kelas Dimas. Memastikan bahwa Dimas masih di sana. Namun, setelah Alea tiba kelasnya sepi. Rasa takut itu semakin menyerangnya.

“Dimas kamu di mana sih?” ia terus mencari Dimas di fakultas ini. Mendatangi setiap kelas yang ada di fakultas ini. Kali saja Alea keliru dengan kelas Dimas.

Keringat terus mengalir di dahinya. Sudah semua kelas yang ia datangi namun ia belum juga menemukan lelaki itu. Tubuhnya lemas. Alea takut Dimas kenapa-kenapa. Kalaupun Dimas pulang, pasti Alea sudah menerima pesan dari Dimas. Tapi, teleponnya saja tidak diangkat.

Langkah Alea terhenti. Sebuah tempat tiba-tiba muncul dipikrannya. Segera ia lari di koridor yang sepi menuju atap fakultas bisnis ini. Karena hanya itulah satu-satunya tempat yang sering Dimas kunjungi. Pada saat keadaannya memburuk.

Nafas Alea terengah-engah. Ia menarik napas dan meneluarkannya. Mencoba menetralkan nafasnya sebelum membuka pintu atap ini. Kenapa dadanya sakit? Dengan perasaan khawatir Alea melangkahkan kakinya ke atap. Mengedarkan pandangannya mencari sosok Dimas. Ketemu. Lelaki itu tengah menyenderkan tubuhnya pada dinding. Air mata Alea jatuh. Cluster Headache itu belum juga hilang. Walau itu bukan penyakit mematikan. Tapi rasanya amat sakit.

Jantung baru Dimas sudah benar-benar diterima tubuhnya. Artinya ia sudah terbebas dari rasa sakit akibat lemahnya jantung. Ia pula sudah bisa melakukan aktivitas orang sehat pada umumnya. Namun, Cluster Headache yang tak bisa disembuhkan akan selalu menemaninya sampai ia tua. Dan selamanya Dimas akan merasakan rasa sakitnya.

Alea menghampiri Dimas. Duduk di hadapannya sembari membersihkan darah yang mengalir di wajah lelakinya dengan sapu tangan miliknya. Dimas membuka matanya. Menatap gadisnya yang tengah membersihkan darah yang mengalir di wajahnya disertai air mata yang selalu Dimas ciptakan.

Dengan lembut tangan Dimas mengusap air mata itu.

“Karena aku air mata ini selalu jatuh.” Ucapnya lirih. Menyeka air mata Alea yang terus jatuh.

“Aku nggak peduli.”

Gadis itu masih terus membersihkan darah di wajah Dimas. Sapu tangan yang berwarna abu-abu kini sudah dipenuhi warna merah. Dimas pun mengambil tangan Alea yang berada di dahinya.

“Terima kasih mau tetap bersamaku. Menerima keadaanku yang terlalu sering sakit-sakitan ini.” Ucapnya terdengar menyakitkan bagi Alea.

“Aku bilang aku nggak peduli. Mau separah apapun keadaanmu terserah. Yang penting kamu masih di sini. Dihadapanku. Bersamaku. Dan nggak pergi lagi.”

Bahagia. Itulah yang Dimas rasakan. Memiliki seseorang yang mencintainya apa adanya. Seseorang yang juga ia cintai selalu menaruh kehawatiran padanya. Seseorang yang mampu membuat ia mengalahkan rasa sakit karena penyakitnya. Dimas merasa ia amat beruntung.

Dimas memeluk Alea.

“I love you.” Bisiknya lembut.

Alea membalas pelukan Dimas lebih erat. Merasakan kehangatan tubuh ini. Melepaskan rasa sakit akibat rindu yang pernah ia rasakan. Meski rasa takut kehilangan tak pernah pergi.

“I love you too.” Balas Alea lirih.

Waktu senja mulai tiba. Matahari baru separuh meneggelamkan tubuhnya. Menyaksikan dua insan yang saling mencintai. Alea dan Dimas. Dua orang yang pernah merasakan rindu selama bertahun-tahun. Yang akhirnya bisa bersama. Bersama dengan orang yang mereka rindukan. Meski sesuatu yang menyakitkan selalu terjadi. Tapi mereka tak pernah menyerah. Terus berusaha membuat orang yang mereka rindukan bersama. Dan semua itu terjadi.

- T A M A T –

Alhamdulillah.... akhirnya Tamat juga ini cerita. Saya senang... Saya senang.... *sambiltepuktangan

Btw, ada yang mau bertanya-tanya tentang cerita ini? Silahkan tulis di kolom komentar. Kalo tidak ada yasudah...

Jangan lupa baca juga cerita saya yang judulnya "Love In Seoul" dan Vote and komen nya juga yuppp!!!!

Terimakasih :)

Rindu : Akankah Kita Bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang