16. Bersamamu yang Kurindukan

140 19 4
                                    

3 tahun kemudian...

Hari-hari menyedihkan telah berlalu. Hidup itu seperti air yang mengalir. Ia terus mengalir mengikuti arus kehidupan walau sering kali ditengah jalan ada sebuah hambatan. Namun air yang mengalir itu akan terus mengalir menerobos hambatan dan berusaha melaluinya. Ia tidak akan berhenti ditengah jalan kalau belum tiba di titik puncaknya. Jika dikehidupan titik puncak itu disebut yang Maha Kuasa.

Setelah kejadian tiga tahun lalu semuanya telah berubah. Saat bangun pagi biasanya hanya melihat bekal yang ditemani uang sakunya di atas meja makan yang kecil. Sekarang ia tak pernah melihat itu lagi saat bangun pagi. Yang ia lihat saat ini sebuah senyuman dari seorang ibu dan seorang wanita yang telah menemaninya melewati masa sulitnya. Mereka tengah menyiapkan sarapan pagi dan akan ikut makan bersamanya.

“Selamat pagi,” sapa Alea pada Mamanya dan Bi Inah yang sudah duduk di meja makan. Dan mendapat balasan dari Mamanya.

Alea tak lagi tinggal di rumah dusun. Ia dan keluarganya termasuk Bi Iniah telah pindah ke rumah yang tak terlalu mewah di sebuah komplek sekitar dua tahun lalu. Bi Inah awalnya menolak menerima tawaran Alea dan Mamanya untuk ikut pindah ke rumah barunya. Setelah dibujuk berkali-kali akhirnya Bi Inah menerima tawaran itu. Sekalian membuka jasa laundry di depan rumah baru itu. Setelah beberapa hari jasa laundry itu dibuka Bi Inah sudah mendapat banyak pelanggan. Mungkin karena di komplek ini tak ada tempat jasa laundry. Jadi beberapa warga yang tak punya waktu mencuci pakaian lebih memilih mencuci pakaiannya ke laundry Bi Inah daripada ke laundry tempat biasanya yang lumayan jauh.

Dan Mama Alea pula telah kembali ke-profesinya sebagai dokter bedah. Tapi sebelum itu ia sempat belajar lagi kiranya selama dua tahun. Kembali menapatkan lisensinya sebagai dokter.

“Gimana kuliah kamu akhir-akhir ini?” tanya Mama Alea disela kunyahannya. Mereka bertiga tengah duduk menikmati sarapan pagi seraya berbincang-bincang.

“Baik kayak biasa.” Jawab Alea lalu memasukan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

“Memangnya kamu nggak punya jawaban lain? Dari SD sampe sekarang jawabannya itu-itu aja.”

“Kan emang keadaannya kayak gitu. Dari SD aku sekolah nggak pernah ada kesulitan.” Kata Alea gede kepala. Menyombongkan dirinya selayaknya selalu mendapatkan kebaikan dalam hidupnya. Padahal nyatanya tidak.

“Lho bukannya waktu SMA kamu selalu dibully?” sembur Bi Inah.

“Oh ya? Itukah yang disebut keadaan baik-baik saja.” Ledek Mamanya.

“Sudahlah, jangan dibahas...”

Mama Alea dan Bi Inah tertawa puas. Meledek anak yang terlalu menyombongkan keadaannya sekarang. Padahal jika dilihat kebelakang hidupnya penuh masalah. Sementara Alea merasa dipojokkan. Ia hanya memasang wajah kesal sembari memasukan makanannya dengan kasar. Namun walau begitu ia bahagia dengan keluarga seperti ini.

*****

Alea Tanitha. Yang sebelumnya memiliki nama Alea Geovani. Sekarang ia sudah menjadi seorang mahasiswa semester empat di fakultas kedokteran. Gadis yang telah berumur 20 tahun. Dan ia juga memiliki banyak teman di universitas barunya. Sudah bukan seorang siswi yang selalu dibully teman-temannya.

Seorang dosen berumur limapuluh tahunan tengah menjelaskan berbagai macam penyakit yang dapat menyerang manusia pada musim panas beserta cara mengobatinya. Semua mahasiswa sangat fokus pada dosen tesebut. Memahami setiap kata yang diucapkan dosennya yang memiliki gelar profesor. Para mahasiswa biasanya memanggilnya Profesor Bowo.

Setelah dua jam berlalu kelas terakhir Alea telah berakhir. Ia pun memasukan alat tulisnya ke dalam tas miiknya. Bersiap untuk pulang.

Seseorang menyodorkan kertas berwarna merah muda. “Wajib dateng!” kata gadis yang menyodorkan kertas merah muda yang ternyata undangan ulang tahun.

Rindu : Akankah Kita Bersama?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang