The Last Convertation in Realitionship

732 40 0
                                    

Devo memasuki cafe bernuansa coklat itu sambil menenteng tas ransel di pundaknya.

Selepas mengikuti ekstrakulikuler basket, Devo segera meluncur ke cafe yang berada di daerah Depok itu.

Dia memesan segelas Ice Cappucino untuk dirinya dan segelas Americano untuk gadisnya. Devo saja bingung, apakah gadis itu akan tetap menjadi gadisnya ketika dia datang. Untuk hal itu, Devo ragu.

Setelah mendengar saran Deva dan dengan pertimbangan yang matang. Dia sudah memilih sebuah keputusan yang sulit untuk dirinya.

Kita semua tau ya bagaimana suatu hubungan yang sudah berjalan selama 2 tahun bahkan menjelang 3 tahun akan berakhir karena sebuah kebohongan kecil yang malah menjadi besar.

Pelayan mengantarkan pesanan Devo. Setelah mengucapkan terimakasih, Devo segera menyedot minumannya sedikit demi sedikit. Matanya melirik ke arah jam dinding. 15.45. Gadis itu terlambat 15 menit dari waktu yang ditentukan.

Dari kursinya Devo dapat mendengar pintu cafe dibuka dan ada derap langkah kaki mendekat ke arahnya, tapi dia hanya diam tak ingi  menoleh sampai gadis yang ditungguinya datang.

Sesuai perkiraan kita, Airin datang menemui Devo. Wajahnya sedikit lusuh dengan beberapa keringat jatuh dari pelipisnya, tapi masih tetap ada senyum yang menghiasi pipinya. Senyum yang Devo sukai. Sayangnya, sebentar lagi senyum itu akan hilang.

"Jadi, kamu kenapa ngajak aku ketemuan?" Airin bertanya pada Devo setelah Devo menyodorkan gelas Americano untum gadis itu.

Devo menghela napas pelan, "seekah tadi mengolah semua data, aku baru sadar akan satu hal, ada perbedaan diantara kita yang takkan bisa kita satukan..." Devo memberikan jeda pada ucapannya,"...kamu tau kan kalau kita berbeda keyakinan?"

Airin membelak, matanya membesar karena kaget, bibir tipisnya terbuka karena terkejut. Ini pembahasan yang tiada akhirnya. Gadis itu menganggukkan kepalanya mengiyakan. Dia sudah tau kemana akhir pembicaraan ini.

"Karena itu, aku tau kamu nggak mungkin meninggalkan Tuhan kamu kan? Aku pun begitu. Kita pasti akan mempertahankan apa yang kita anut sedari kecil kan?

"Ini pembahasan yang berat, Airin. Kita dipisahkan oleh tembok tak kasat mata yang tak dapat diruntuhkan oleh apapun, kamu ngerti kan?"

Airin mengangguk, matanya sudah mulai panas dan terasa berat. Perlaham tapi pasti, air mata jatuh membasahi pipinya. Tak hanya gadis itu, Devo juga melakukan hal yang sama hanya saja tanpa Airin sadari.

Devo menghela napas sambari memaksakan sebuah senyum kecil, "kita akhiri saja sampai disini ya? Aku takut kita merajut kasih terlalu jauh hingga tanpa sadar malah menyakiti kita lebih dalam nantinya. Benar kan?

"Aku tak mau kita berpisah, tapi ini suatu keharusan."

Airin mengangguk dan mengangkat wajah yang sedari tadi dia tundukkan. Dia menatap Devo lamat, hingga akhirnya berdiri untuk memeluk lelaki itu untuk yang terakhir kalinya sebelum mereka berpisah. Pelukan perpisahan sebagai sepasang kekasih.

Devo membalas pelukan Airin dengan erat. Menyalurkan semua kesedihannya. Setidaknya untuk terkahir kalinya.

Devo yang terlebih dahulu melepaskan pelukan mereka. Takut mereka akan lemah dan malah kembali bersama dan menorehkan luka yang lebih dalam lagi.

"Hubungan kita sampai disini kan Airin? Sampai jumpa lagi. Aku harap kamu akan baik-baik saja tanpa aku." Devo tersenyum sambil mengusap kepala Airin lembut. "Aku harap kamu juga begitu Devo, kita masih bisa menjadi teman kan?"

"Pasti, itu pasti. Kita masih bisa menjadi teman. Semoga kamu bisa bahagia Airin, meskipun dengan yang lain," kata Devo tulus sembari merangkul gadis itu untuk keluar dari cafe.



Tidak semua perpisahan berakhir dengan sakit, luka dan air mata. Tak selamanya juga dengan cara yang mengecewakan.

Setidaknya, ketika kamu berpisah dengan siapapun itu, buatlah kesan yang menunjukkan diri kamu sendiri apa adanya dan beri dia kenangan yang takkan terlupakan untuk dia selamanya.

Deva dan DevoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang