02. Illucescente ☕

Start from the beginning
                                        

Bersama insinyur ternama dan timnya, Riva pun menata ulang desain rumahnya yang semula berupa dua petak rumah kopel standar menjadi satu bangunan bertingkat dua. Desainnya dibuat minimalis. Bagian dinding didominasi material kaca high quality dengan sekat tidak kentara yang pembukaannya dapat dikontrol melalui power window dan central lock, dihiasi dengan motorized curtain berbahan polyester anti-radiasi.

Sistem keamanan biometrik pendeteksi sidik jari, iris dan retina juga di pasang di beberapa pintu. Terkhusus ruang kerja Riva dan pintu masuk utama, dilengkapi dengan pemetaan garis geometrik wajah serta pembacaan gerak fisiologis mata dan mulut.

Rama pernah iseng memainkan detektor tersebut dengan merekam berbagai macam ekspresi hingga ditandai sebagai penyusup dan berhasil mengaktifkan alarm keamanan.

Alhasil, Rama beserta kelima temannya yang saat itu tengah menunggu Chelia dan Riva pulang digiring ke post satpam terdekat. Namun alih-alih terintimidasi, Rama justru membuat pangkalan itu heboh dengan adu tanding main catur antara para satpam dan segenap tukang bentor di sana melawan Rean dengan memasang mobilnya sebagai taruhan.

Saat jam digital di nakas menunjukkan pukul 7 tepat, Chelia mengecek kembali isi ranselnya dan bersegera menuju ruang tengah. Meskipun memiliki unlimited memory, bukan berarti Chelia tidak pernah ketinggalan barang bawaan. Memori adalah interpretasi dari aktivitas serangkaian organ sensorik, dalam artian berisi rekam jejak dari apa ia lihat, dengar dan rasakan. Dan tentu saja, sebagai manusia biasa, Chelia tak luput dari yang namanya salah lihat, salah dengar dan mungkin juga salah rasa.

Chelia celingukan kanan-kiri, memastikan dirinya tidak dalam jangkauan penglihatan Riva kemudian menuruni tangga setengah berlari. Kaos spandek yang licin meminimalkan gaya gesek yang timbul antara kakinya dengan lantai pualam yang melapisi anak tangga, membuatnya seperti sedang meluncur di perosotan. Chelia sangat suka itu, namun tidak bagi Riva.

"Rean!" seru Chelia begitu mendapati Rean sedang berbincang dengan Riva di meja makan.

Rean menoleh dan tersenyum samar.

"Kamu kenapa nggak bilang sudah masuk kampus hari ini?"

"Aku bilang sekalipun apa bedanya?"

"Kamu bilang sekalipun apa salahnya?"

Rean menghela napas singkat. "Tidak ada. Baiklah, lain kali aku akan bilang," jawabnya cepat.

"Kalian sarapan dulu, tidak baik berpikir keras saat perut kosong." Riva menggeser sepiring roti bakar dengan selai cokelat tebal di hadapan keduanya.

Sebenarnya sudah tidak banyak waktu, tetapi Chelia dan Rean menurut saja, tidak ingin menambah beban kekhawatiran Riva yang jauh berpikir lebih keras dibanding mereka. Apalagi Riva yang tidur paling lama 4 jam sehari itu sudah bersusah-payah menyiapkan sarapan.

"Chelly, ada pesan. Maaf nggak sengaja terbuka." Rean menyerahkan HP dengan case berwarna pastel pada Chelia yang habis memilih sepatu.

Chelia hanya mengangguk pelan, namun begitu membaca pesan yang tertera di sana, senyumnya langsung terkembang.

"Itu siapa?"

"Teman."

"Teman?"

"Iya. Orangnya baik, kok." Chelia menggeser posisinya, "Foto, yuk! Dia minta PAP."

"Poly-amino-phenylene?"

Chelia tertawa. Rean memang sangat suka kimia, bahkan sewaktu makan roti tadi Rean sempat membahas tentang Phenylethylalanine--senyawa kimia dalam cokelat yang juga diproduksi otak ketika sedang jatuh cinta dan bisa memperbaiki mood.

Prescriptio☕  Where stories live. Discover now