006. Wishful Thinking

274 50 22
                                    

Yoongi sudah memupuk banyak harapan; mengenai beberapa hal yang kiranya bisa diperbaiki dalam masa mendatang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Yoongi sudah memupuk banyak harapan; mengenai beberapa hal yang kiranya bisa diperbaiki dalam masa mendatang. Memberikan kehidupan lebih layak bagi putranya, perhatian yang tercurah penuh, rumah berhias kasih sayang di dalamnya―hingga semua menunggal dan terasa hangat tanpa adanya suara keras atau adegan saling menyalahkan. Biar, biarkan Yoongi saja yang merasakan betapa beratnya menanggung beban hidup; depresi selama bertahun-tahun, asalkan putranya jangan; Yuno tidak boleh memiliki sepercik saja beban yang dapat memengaruhi mentalnya di kemudian hari.

Namun, Yoongi masih terlalu kaku. Ia menginginkan begitu banyak, tapi tidak bisa memulainya dengan benar. Pria tersebut seolah mulai kehilangan indera perasa dalam hatinya―turut membuang simpati yang entah sudah berapa lama rasanya Yoongi tidak bisa menunjukkannya lagi. Ia bahkan tidak berada di sisi putranya ketika anak itu tengah merayakan bertambahnya usia.

Bagaimana, ya? Agak keterlaluan saja rasanya jika ia berpesta sementara mereka harusnya berkabung atas kepergian Shira di tanggal yang sama. Hidup memang terkadang serumit itu.

Yoongi mendesah berat tatkala tubuhnya bergerak bangkit dari kursi kerjanya. Meninggalkan urusan berkas yang perlu diteliti ulang sebelum diserahkan pada atasan, pria tersebut memilih atap gedung sebagai tempat tujuan. Kumulus jernih berarak mengisi langit yang membiru. Kendati mentari tak menampakkan sinar yang begitu menyengat, cuaca di akhir musim gugur terasa cukup hangat. Mengirim dengus gusar yang terkuar samar, pula kedua atensi mengatup lamat-lamat.

Inginnya Yoongi mencoba hidup sendiri, barangkali itu akan lebih mudah ketimbang ada Yuno di sisi. Jika pun rasa kesepian kembali datang, Yoongi tak perlu menyalahkan siapa-siapa atas kepergian Sang Mendiang. Cukup berjalan pergi tanpa memiliki beban yang berarti. Kenyataannya, ia harus menerima penyiksaan Tuhan yang bertamu seakan tak ingin pulang.

Ada banyak sekali rasa kecewa yang menginvasi hati, namun tak sedikit pula kebahagiaan yang melingkupi. Kala Yuno pertama kali bisa memanggilnya ayah, contohnya. Saat itu, Yoongi seakan dibuat melayang hanya dengan suara lirih yang keluar dari bibir mungil putranya. Ia bahkan nyaris menangis, begitu emosional sampai tak sadar bahwa ia terlalu banyak mengabaikan si anak.

Pria tersebut juga memeroleh gelegak suka cita ketika Yuno yang masih berusia satu setengah tahun, menggenggam ibu jarinya secara protektif. Ia mencoba melangkah dengan hati-hati meski harus terjatuh puluhan kali. Tak ada tangis, justru saat pantatnya mencumbu porselen, bocah tersebut tertawa kegirangan bersama pipi dan ujung hidung yang memerah lucu. Harusnya, hari itu Yuno tetap menggenggam jemarinya dan belajar berjalan bersama ayahnya. Namun, semakin lama bersama, Yoongi malah merasa tak kuasa. Ia menyerah, memilih pergi dari rumah dan pulang dalam keadaan mabuk berat.

Banyak sekali pukulan yang diterima Yoongi dari temannya; baik yang sungguhan, maupun melalui perkataan. Namun, ia tak cukup menghiraukan. Baginya, mereka tak akan pernah mengerti keadaan yang kini dialaminya. Dan Yoongi tak berharap mereka untuk mengerti―bahkan mengalami hal serupa. Tidak perlu, pirkirnya. Karena, toh, hidup seseorang pasti ada kadarnya masing-masing; seberapa banyak Tuhan memberi kebahagiaan; pula seberapa besar kekecewaan dan rasa sakit sanggup menguji kita.

ExpiateWhere stories live. Discover now