001. Cruel Morning

403 68 39
                                    

Awal hari tersebut dibuka dengan umpatan yang melolos dari ceruk bibir, kepala turut berdenyut pusing, serta hati yang mencelos begitu netra melirik ke samping

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Awal hari tersebut dibuka dengan umpatan yang melolos dari ceruk bibir, kepala turut berdenyut pusing, serta hati yang mencelos begitu netra melirik ke samping.

Min Yoongi membawa tubuhnya tertarik ke atas, punggung disandarkan ke kepala ranjang tatkala mata terpejam sejenak. Bayangan sebuah wajah penuh senyum, memenuhi tiap ruang dalam kepalanya. Ada kebahagiaan menyelinap, tapi buru-buru menguap kala deringan weker di atas nakas menginterupsi paginya. Decakan lain lolos diiringi tubuh yang bergerak turun dari tempat ternyaman sejagad raya; ranjang.

Untuk sebuah kenyataan pahit yang kembali teringat dalam memori, Yoongi hanya sanggup menghela napas tak berarti. Baginya, kebahagiaan dan suka cita sudah raib entah sejak kapan. Merundung tempatnya bernaung hingga ia tidak mampu menemukan secercah cahaya menyelusup barang setitik. Sempat marah, tapi Yoongi akhirnya pasrah. Sebab, ia tahu bahwa segalanya tidak akan pernah bisa berubah.

Kakinya berjalan gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Segera setelahnya, ia mempersiapkan berkas-berkas yang harus di presentasikan setibanya di kantor nanti. Membawa serta tas kerja juga laptop menuju ruang makan rumahnya, Yoongi mendapati sesosok bocah mungil ke luar dari kamar tidur menuju ruang televisi dengan mata setengah terpejam khas bangun tidur.

Satu tanya menguar tanpa bisa dicegah, kendati Yoongi benar-benar enggan melakukannya, "Yuno, sudah cuci muka belum?"

Bocah yang dipanggil kontan memutar leher menghadap belakang, cengirannya mengembang ketika menemukan Yoongi berwajah masam―tengah berdiri di sebalik konter dapur. Satu lompatan kecil dilakukan, lantas bocah berambut mangkok tersebut berlari meninggalkan siaran kartun favoritnya untuk menuju kamar mandi secepat yang ia bisa.

Secara spontan, senyum kecil merekah pada ceruk bibir si lelaki. Putranya begitu menggemaskan saat mulai tumbuh besar kini. Andai ibunya dapat melihat putra mereka berkembang; melihat bagaimana Yoongi akan begitu bahagia saat menjalani hidup bersama keduanya, mungkin tidak akan ada perasaan kecewa yang begitu besar dalam benaknya. Tetapi, apa yang terjadi saat ini adalah satu bagian dari Sang Takdir, mau tak mau membuatnya menerima kendati belum siap merelakannya.

Embusan pelan melolos, sesegera mengentak Yoongi kembali ke kenyataan. Lelaki tersebut menjumput sepotong roti untuk diapit di mulut. Mengambil dua potong lain dan dimasukkannya ke dalam toaster. Sembari menunggunya terpanggang, Yoongi menyiapkan secangkir teh herbal untuk dirinya, pula segelas susu hangat untuk putranya. Jemarinya bergerak cekatan, namun perasaan gamang masih sempat saja bertandang.

Lamun sesaat mengudara; andai saja Shira masih ada, mungkin Yoongi hanya harus duduk tenang di meja makan seraya membereskan urusan kantor yang butuh revisi. Ia mungkin tidak perlu memiliki kekuatiran lain, hanya perlu bekerja dalam kadar normal dan tidak menggila seperti sekarang. Pula, tak harus menyiapkan segalanya sendiri secara serampangan begini.

Ingin sekali rasanya menyewa pengurus rumah tangga yang bersedia melakukan pekerjaan rumah serta menjaga putranya. Namun, tentu saja Yoongi tidak bisa memercayakan pekerjaan penting ini pada sembarangan orang. Bagaimana jika mereka malah menyakiti putranya? Atau paling buruk, mereka bisa menculik si kecil Min itu untuk kepentingan pribadinya.

Tidak. Yoongi menggeleng cepat kala membayangkan semua hal buruk tersebut bisa saja terjadi. Itu terlalu berisiko, dan Yoongi jelas tidak mau membiarkannya. Kendati ia harus bekerja ekstra sebagai dua peran sekaligus, ia perlu melakukannya sendiri. Memastikan putranya aman dengan kedua matanya secara langsung. Meski pada kenyataannya, dirinya tidak dapat berada di rumah sepanjang waktu dan hanya bisa memantau dari temannya.

Bunyi ctak yang berasal dari toaster, membuat Yoongi mengedip cepat. Kesadaran buru-buru dicekal, lantas membawa sarapan putranya menuju ruang tengah usai ia menandaskan isi cangkir tehnya.

Yuno sudah kembali duduk tenang di sana selesainya ia melakukan perintah Sang Ayah. Sesekali, ayah-anak tersebut saling melirik canggung sebelum akhirnya Yoongi meletakkan semua makanan ke atas meja di depan sofa. Menggerakkan kakinya kembali ke meja makan untuk memasukkan laptop ke dalam tas kerja dan menentengnya, lalu menuju ke tempat putranya lagi dengan terburu-buru.

"Ayah sudah mau berangkat?" Yuno bertanya, melirik ke piring berisi roti panggang dan segelas susu di sebelahnya. Tatapannya lalu menjumpai mata lelah Sang Ayah.

Yoongi hanya membagi senyum kecil, kemudian mengusap ujung rambut mangkok milik si bocah dan mendaratkan kecup singkat di kening. Setiap kali melihat putranya―bertemu muka dalam posisi sedekat ini―Yoongi akan teringat pada hari di mana dia lahir; sebuah hari yang berhasil mengiris hatinya hingga menganga dan tak akan kembali menutup lagi; satu luka yang teramat besar tertanam di sana, bahkan ia yakin tidak akan pernah menemukan penyembuhnya.

Yoongi mungkin marah, tapi ia tidak membenci putranya. Tentu saja, karena bagaimana pun anak ini tidak patut dipersalahkan. Hanya saja, ia tak memiliki cukup keberanian jika harus berlama-lama berada di rumah untuk menghabiskan sepanjang waktu bersama anak lelakinya. Yuno selalu mengingatkan Yoongi dengan sosok ibunya; wanita yang pernah mampir dalam hidupnya dan memberi kebahagiaan melimpah sebelum akhirnya pergi untuk selamanya.

Deruan napas pelan mengudara sebelum satu jawaban dicetuskan cepat, "Iya. Segera makan roti dan minum susunya, ya. Bibi Cassie akan datang sebentar lagi, Yuno jangan nakal di rumah, oke?" ujar Yoongi, sama seperti hari-hari sebelumnya.

Bocah laki-laki itu hanya mengangguk ragu, raut wajahnya mendadak berubah sendu. Ada ekspresi kebingungan tersemat lamat, tapi Yoongi tidak ingin repot-repot menamatkan. Waktu telah semakin habis, dan ia perlu cepat-cepat.

"Ayah." Yuno kembali bicara, menyusul Sang Ayah ketika Yoongi telah sampai di pintu depan, menghentikan lelaki itu sesaat sebelum ia menutup pintunya.

"Ada apa, hm?" tanyanya, sejenak menyadari bahwa putranya tampak sedikit kebingungan, namun Yoongi hanya mengabaikan.

Anak laki-laki itu menggigit bibirnya kala menjawab dengan sebuah pertanyaan lain, "Ayah akan pulang jam berapa nanti?"

Yoongi diam sejenak, setengah mengingat-ingat jadwalnya hari ini. Ia harus melakukan presentasi, kemudian menyambut kolega, makan malam bersama mereka, dan ... lembur. Tak ada waktu istirahat, tetapi Yoongi menyukai saat ia melakukan semua hal tersebut. Ia bisa menyingkirkan selapis kesedihannya dengan bekerja. Setidaknya, saat fokusnya teralih untuk melakukan hal lain, ia bisa bernapas dengan benar, tidak ada sesak yang selalu menghimpit dadanya kuat-kuat.

Yoongi lantas memandang putra sematawayangnya dengan helaan napas singkat. "Sepertinya akan sangat malam. Jika Bibi Cass sudah pulang, Yuno langsung tidur saja," ujarnya.

"Tetapi, Ayah―"

"Yuno, Ayah harus berangkat sekarang." Melirik arloji yang melingkari pergelangan―mendapati waktu sudah benar-benar mepet sekarang―lelaki tersebut kemudian mengusap ujung kepala si anak sebentar. "Sampai nanti," katanya sebelum benar-benar pergi.

Min Yuno menghela napas usai pintu ditutup oleh Sang Ayah. Ia merunduk, memasang wajah sedih pula penuh kekecewaan, sebelum akhirnya memilih untuk berjalan kembali ke dalam.

"Hari ini Yuno ulang tahun, Ayah." []

ExpiateOù les histoires vivent. Découvrez maintenant