13 - Malam Ini, Musik Dilengkapi Lirik

Start from the beginning
                                    

“Tapi saya juga nggak bisa berhenti ingin tahu.”

“Prandika Jawahari, aku sama sekali nggak nuntut penjelasan soal gimana kamu bisa tahu tentang masalah pribadiku. Jadi, berhenti tuntut aku buat buang-buang suara, nyeritain ulang dari awal sampai akhirnya bisa tahu soal kerja malammu ini. Supaya kita impas.”

Kelopak mata Dika mengedip lucu dua kali. Kalau tidak salah ingat, yang barusan itu adalah rekor bicara terpanjang seorang Senandung Kasturi pada Prandika Jawahari. Dan sepertinya memang betulan begitu karena kalau ada kalimat panjang yang lain, dapat dipastikan Dika tidak mungkin lupa. Sudut bibir Dika berkedut, lalu perlahan tertarik naik seperti buncahan perasaan senang yang tengah merangkak dari dasar perut kemudian meluas memenuhi rongga dadanya.

“Oke oke. Saya ngalah...” Dika membuat gerakan setuju dengan mengangkat dua telapak tangan ke udara—sebatas telinga. Walaupun begitu, di bibirnya tetap tercetak seciul senyum menang. Bagaimana tidak merasa menang, orang barusan Sena juga sudah buang-buang suara tanpa sadar. “Tapi... boleh tahu tujuan kamu kesini kan?”

Tidak ada respon.

“Saya boleh GR? Anggap kamu kesini karena tiba-tiba kangen saya?”

Dika memang selalu tahu bagaimana cara terampuh untuk memaksa Sena. Lihat saja, sedetik kemudian gadis itu buru-buru menjawab. Yah, meski tanpa melihat wajah over percaya diri di hadapannya. “Mau cari kerja.”

Mode bergumam yang agak kurang jelas itu Dika tanggapi dengan menuutkan alis. “Kamu mau dianter cari kerja? Disekitar sini?” tanyanya bingung.

“Ck!” decak Sena lantas menggeleng. “Bukan gitu. Maksudnya aku mau ngelamar kerja ke kamu.”

Cukup lama Dika bengong. Berusaha memperjelas maksud Sena berbekal logikanya sendiri. Tapi gagal. “Bisa lebih jelas, Na?”

Sempat memutar bola mata, Sena kembali buka bibir. Sudah tidak ada jalan lagi selain bicara sejelas, segamblang  dan seterus terang mungkin. “Aku mau ikut ngamen. Paham?”

Seketika Dika dibikin khawatir. Pikiran pertamanya adalah Sena mungkin sedang kurang sehat sekarang. Buru-buru ia ulurkan tangan untuk menyentuh dahi Sena yang ia duga suhunya sedang tinggi. Hanya saja, semua dugaan Dika nyatanya salah. Tidak ada tanda-tanda demam.

“Ish! Apa sih?!” tidak suka dipegang, Sena menepis tangan Dika sambil ngomel.

Seratus persen Sena galak. Sepertinya dia betulan sehat. Dika diam untuk meneliti wajah Sena lekat-lekat. Dan serius, ia tidak punya dugaan lain lagi. Masalahnya, semua kelihatan normal-normal saja—kecuali permintaan ikut ngamen barusan.

Ditatap sebegitu aneh jelas memancing kekesalan Sena. Tanpa pikir panjang, satu injakan maut langsung ia hadiahkan ke kaki kiri Dika. Memang tidak full tenaga, tapi sudah cukup untuk bikin laki-laki itu memekik tertahan merasakan nyerinya. “Jangan memperumit deh! Males tahu nggak! Lagian aku pasti diterima, kan?” gerutunya.

Sena mendesis, kemudian berbalik untuk beranjak terlebih dahulu. “Buruan!”

“Jelas diterima lah. Kaka mana bisa nolak Nana.” Begitu ujar Dika waktu dirinya sudah berhasil menyusul Sena. Menyamai langkah si judes itu dengan langkah kakinya yang agak tertatih.

“Barusan kok kayak ada yang ngomong ya?” sengaja Sena menunjukkan ekspresi bergidik ngeri. Tujuannya satu: supaya Dika tahu kalau gombalan adalah sesuatu yang horor di telinga Sena.

Dika terkekeh saja. Mana bisa ia kesal pada ejekan sarkas yang Sena akhiri dengan cemberut selucu itu. Astaga waktu, boleh tidak membeku sebentar? Biar Dika bisa curi kesempatan buat cubit pipi-pipi milik si singa betina tanpa membuatnya ngamuk.

Di tengah-tengah pasar malam—tempat biasa Dika, Epeng dan Pram ngamen—satu microphone sudah terpasang pada stand, lengkap juga dengan satu set speaker berukuran sedang. Ada seorang laki-laki sedang duduk diatas kursi bulat berkaki tinggi tanpa sandaran. Dia langsung nyengir dan melambai singkat waktu melihat Dika datang. Sena sempat diperkenalkan, namanya Mas Aris. Dia salah satu panitia pasar malam, dan dari awal, Dika memang minta bantuan Mas Aris buat mengurus izin sekalian dengan properti-properti tadi.

Suwun yo, Mas... sampai disiapin begini.” Ucap Dika seraya memutar gitar ke depan dada. Ada sedikit kesan sungkan dalam nadanya.

“Opo toh, Dik. Habis ini aku ada urusan, jadi tak siapin sekalian biar ndak ribet nitip-nitip ke orang.” Sena hanya memperhatikan ketika Mas Aris menepuk pundak Dika akrab. Diam-diam ia takjub sendiri melihat bagaimana semua orang—Guru dan teman-teman sekolah, tukang parkir bahkan panitia pasar malam pun—seakan sangat menyenangi Dika. Dan sepertinya, di kota gudeg ini, memang cuma Sena satu-satunya yang nggak sama.

Tidak lama setelah Mas Aris pamit, pengunjung pasar malam mulai membentuk kerumunan. Sena terus melirik sekeliling sedangkan Dika sibuk menyiapkan ini itu. Makin lama makin banyak orang dan jujur saja itu membuat Sena mulai terserang nervous. Lalu, menyadari kalau para penonton tidak berhenti memperhatikan dirinya sebab mungkin merasa asing juga ingin tahu, sekarang telapak Sena jadi terasa dingin.

“Sini, Na!” Sena menoleh karena panggilan Dika. Lengkap dengan senyum santai, Dika menepuk kursi sebagai kode agar Sena cepat duduk.

“Ngapain?” gadis itu menatap Dika setengah panik. Kakinya setia di pijakan dan enggan bergerak barang sesentipun.

“Malam ini kamu jadi vokalis pembuka.” Sekarang wajah Sena sepenuhnya pucat. Gerakan sekaku robot yang ia lakukan saat menggeleng betul-betul lucu—menggemaskan kalau kata Dika. “Udah sini, nggak apa-apa.” Mempersingkat durasi, Dika langsung saja tarik dan dudukkan Sena secara paksa.

“Aku nggak bisa nyanyi!” protes Sena. Namun bukannya menggubris, Dika malah pura-pura tuli lalu mengambil alih kaleng uang dari pangkuan Sena untuk diletakkan ke bawah kursi. “Serius! Aku tuh nggak bisa nyanyi!”

“Bisa.” Bantah Dika super yakin.

Sena mendelik. “Sok tahu banget sih!”

“Saya tahu. Nggak pakai sok.”

“Huh! Tahu darimana coba?!”

“Tahu dari namamu. Senandung Kasturi. Karena dalam KBBI, Senandung dimaknai sebagai nyanyian atau alunan lagu dengan suara lembut.” Diam sejenak. Lima detik, hanya diisi dengan saling tatap. Lalu Dika melanjutkan kalimatnya. “Menurut kamu, itu nggak nyambung ya?”

Yang ditanya mengangguk. Ada kata ‘banget’ terbaca di mata bening Sena.

“Biarin.” Entang Dika, kemudian mendekat selangkah agar bisa berbisik sembari membungkuk menyejajarkan tinggi dengan Sena. “Jangan diperumit, Na. Sederhana saja. Yang jelas, saya percaya kalau kamu bisa. Sudah.”

💧Lovakarta💧

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

💧Lovakarta💧

Ayii: Bapernya sedikit saja. Kasihan jomblo" yang besok masih harus sekolah:v

LovakartaWhere stories live. Discover now