13 - Malam Ini, Musik Dilengkapi Lirik

Mulai dari awal
                                    

💧💧💧💧

Malam ini, Jowi parkir tanpa ditemani Astrea Pram. Di samping kiri motor Yamaha Alfa tua itu, hanya berjejer motor-motor dengan plat nomor yang sama sekali tidak familiar bagi Dika. Yah, pastinya milik ratusan pengunjung pasar malam lain yang juga tidak Dika kenali semua.

Pak Dono—tukang parkir yang tidak pernah kehilangan semangat mudanya walaupun sudah menginjak usia kepala lima—langsung melempar sapa akrab untuk Dika saat pelajar SMA itu baru melepas helm dari kepala. Sekalian menanyakan kemana Epeng dan Pram yang tidak kelihatan batang hidung mereka. Mungkin Pak Dono merasa tumben karena Dika datang tidak sepaket dengan dua sahabatnya.

“Di sebelah rumah Pram ada selamatan, Pak. Jadi dia ndak bisa ikut.” Jelas Dika yang masih menyandang gitar di punggung.

“Si gembul yo melu selamatan?”

“Nggih lah, Pak. Kalau ada makan-makan gratisnya, Epeng jelas ndak mau ketinggalan.”

Tawa ringan antara Dika dan Pak Dono kemudian menutup obrolan singkat tadi. Walaupun sebenarnya masih ingin meneruskan percakapan sedikit lebih lama, mau tidak mau Dika harus mengalah pada seorang bapak-bapak berkemeja yang minta dibantu memarkirkan mobilnya. Tidak apa-apa lah, Dika ikut senang kok melihat lahan kerja Pak Dono ramai begini. Lagipula, ia sendiri mungkin juga sudah ditunggu penonton setia.

Kunci motor sudah Dika amankan ke dalam saku celana. Dan laki-laki itu baru saja turun dari jok saat seorang gadis dengan tinggi yang tidak lebih dari batas alisnya tiba-tiba muncul dan menghadang.

“Nana?” cengo Dika. Tampak sedikit terkejut. Atau lebih tepatnya, tidak menyangka kalau dirinya akan bertemu dengan Sena di tempat ini.

Tidak merespon suara Dika yang entah itu sapaan atau apa, Sena masih bertahan pada kesibukannya memperhatikan tanah setengah basah bekas gerimis singkat maghrib tadi. Sama sekali tidak menarik dibawah sana. Hanya ada rumput-rumput pendek juga jejak roda. Tapi cukup baguslah untuk dijadikan pengalih dari canggung yang mendadak menyerbu Sena.

Entahlah. Entah hal apa yang merasuki Sena sampai-sampai selintas ide untuk menirukan ilustrasi buatan Dika ia turuti begitu saja dengan langsung menemui Dika begini. Tadi, ia bahkan sempat repot-repot menulis note kecil untuk Kakaknya—berisi alasan belajar kelompok di rumah Ratih—yang kemudian ditempel pada sandaran kursi supaya Gani tidak bingung mencari adiknya kalau-kalau nanti dia bangun. Yang Sena tahu, sistem kerja otaknya pasti sedang kacau parah sekarang.

Dan umpama sebentar lagi Dika tanya soal alasannya datang ke pasar malam, Sena akan benar-benar bingung bagaimana harus mulai menjelaskan sedangkan bicara jujur pasti membuatnya terdengar konyol. Sial. Bertindak tanpa pikir panjang. Kadang Sena kesal harus punya kebiasaan sebodoh itu—kebiasaan yang pasti kambuh waktu dirinya sedang lelah, kesal atau marah.

Meski belum menaikkan sorot, gerakan Dika yang hendak menyembunyikan kaleng biskuit di tangan tetap bisa Sena sadari. Sambil menggingit bibir bawah, gadis itu bergerak cepat merebut wadah uang tersebut sehingga mata Dika lagi-lagi melebar. “Nggak perlu begitu, aku... udah tahu.” Ujar Sena dengan nada yang cukup pelan.

Dika kembali meluruskan tangan kesamping tubuh, tidak meneruskan niatnya untuk mengambil alih benda yang baru Sena rebut. “Kamu tahu darimana?”

Merasa berat menenteng kaleng cuma pakai tangan kanan, Sena terlebih dahulu membawa benda persegi berbahan alumunium itu ke depan perut supaya bisa ditopang memakai tangan kiri juga. Setelahnya, ia membalas ketus lengkap dengan sorot tajam yang memang jadi khasnya. “Kenapa aku harus repot-repot jelasin?”

Dengan cara yang juga khas tapi berbeda—lawan dari ketus, Dika menyahut lagi. “Soalnya saya ingin tahu, Na.”

“Kamu nggak bisa paksa aku.”

LovakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang