Unexpected

656 71 13
                                    

Mataku nggak berkedip. Rasa cemas yang kentara di wajahku berusaha kusembunyikan. Kerongkonganku kering. Napasku rasanya sesak. Bulu kudukku berdiri.

Mataku sibuk melirik ke kanan dan ke kiri. Ke arah ibu dan juga ke arah Ben yang duduk berseberangan. Sama-sama saling menatap tanpa suara. Mungkin sedang telepati?

Tatapan ibu terlalu tajam. Seperti singa yang sedang memantau mangsa. Kobaran api tersembunyi di balik tatapan matanya. Seolah siap mencabik-cabik Ben kalau ada kesempatan. Hal ini membuatku bergidik ngeri. Harusnya Ben nggak aku biarkan masuk. Harusnya aku lebih dulu bicarakan hal ini berdua dengan ibu. Harusnya Ben datang kalau suasananya sudah lebih tenang.

Hanya saja rasa ngeriku selalu memudar ketika melirik ke arah Ben. Pembawaannya sangat tenang. Mungkin karena Ben dan aku sama-sama tau kalau kita nggak melakukan kesalahan apapun. Boro-boro melakukan kesalahan, membayangkannya saja selalu berhasil membuatku mual.

Sesekali aku berdehem. Memancing supaya ibu mengeluarkan kalimat yang belum terucap. Tapi... gagal. Ibu marah besar. Baru pertama kali aku melihat ibu seperti ini. Sekarang keadaannya masih jauh lebih kondusif. Kalau ayah sudah pulang dan bergabung di ruang tamu, pasti akan lebih runyam.

Ibu melepas pandangannya dari Ben lalu menoleh ke arahku, "Cha, kamu kenapa ke Bandung dan nggak pamit?" Ada limpahan kecemasan dalam sinar matanya yang tajam.

Aku menggigit bibir bawahku. Bingung harus jawab apa. Situasinya nggak tepat untuk melontarkan alasan yang sebenarnya. Pasti makin kacau kalau aku bilang karena mau cari Ben. Akhirnya, aku cuma diam. Dan ini membuatku terlihat payah. Seperti seorang penjahat yang ketangkap basah, tapi masih berusaha cari alibi untuk menutup-nutupi kesalahannya.

Ada firasat bahwa aku harus memperjuangkan semua ini. Bukan diam dan terlihat nggak berdaya. Jadi, aku coba angkat bicara. "Mah, ini Ben, Beno Sentosa. Orang yang pernah aku ceritain. Satu-satunya orang... yang bikin aku tertarik," rasanya malu mengutarakan kalimat itu di hadapan ibu dan juga ada Ben di tempat yang sama. Kalau dipikir-pikir, ini kayak mimpi. Padahal beberapa hari sebelum ini, aku siap untuk melepaskan Ben. Siapa sangka kalau hari ini Ben ada di rumahku dan membuatku melontarkan kalimat barusan?

Ibu menoleh ke arah Ben. Memandangi Ben dengan teliti. Entah apa yang dicari.

"Mah, aku ke Bandung karena..." ada jeda beberapa detik. Menimbang-nimbang harus melontarkan alasan sebenarnya atau lebih baik ditunda. "Mau ketemu Ben," akhirnya memilih jujur. Aku berusaha tenang. Tapi, kedua tanganku saling mencengkram satu sama lain karena takut melihat reaksi ibu. Aku tau ini ide buruk. Tapi, nggak ada pilihan lain.

Melihat ibu yang spontan menghela napas, membuatku memutar otak. Berusaha dapet solusi secepat mungkin sebelum ibu bereaksi di luar kendali.

Kedua tanganku terbuka lebar dan mengarah ke ibu. "Tapi, mah, sama sekali nggak ada yang aneh-aneh kok. Aku yakin mamah nelpon aku tadi siang karena pasti udah liat berita di internet. Dan udah liat komentar yang beragam. Memang betul Ben dan aku ketemu di restoran hotel jam tujuh malem, that's it. Nggak ada yang lain. Bahkan kita juga ketemu nggak sampe satu jam. Aku pergi duluan, mah. Dan besoknya Ben dan aku memang ketemu lagi, di hotel yang sama. Mungkin kalau cuma liat foto dan liat kalimat ambigu di internet, bisa menimbulkan asumsi yang aneh-aneh. Tapi, itu sama sekali nggak bener. Banyak saksinya kok. Ada Kandit, terus..." aku memutar otak. "Ada Hendra, sekretarisnya Ben." Aku mendadak diam dan melirik ke arah Ben. Gawat, aku keceplosan nyebut nama Hendra! Tapi, udah kepalang basah. Terlalu semangat ngasih penjelasan sebelum ibu komentar yang aneh-aneh. "Oh iya, aku telepon Kandit sekarang ya mah." Aku mengambil hpku yang ada di tas jinjing. "Assalamualaikum. Halo, Kandit?" dengan cepat aku menekan tombol loudspeaker supaya semua bisa denger.

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang