Ritual Baru

1.5K 97 10
                                    


Hari ini hari Senin. Nggak terasa udah 2 minggu jadi dokter internsip di puskesmas.

Hal-hal unik yang dimaksud dr. Anes sudah mulai terlihat. Bahkan, aku sebagai orang yang paling anti berkonfrontasi, mendadak naik pitam. Gimana nggak? Tiba-tiba, barusan, ada cowok usia 20-an datang ke BP. Dengan gaya santainya, dia bilang mau minta surat sakit. Padahal jelas dia sehat lahir batin. Surat sakitnya juga bukan buat hari ini, tapi buat tiga hari yang lalu. Tepat ketika HARPITNAS alias Hari Kejepit Nasional. Wah, ini sih udah jelas maksud dan tujuannya.

Untungnya kepalaku tetep dingin. Masih bisa ngasih penjelasan tanpa nada kesal. Aku meletakan stetoskop di meja dan memperbaiki posisi duduku. Duduk lebih tegak supaya terkesan lebih berwibawa, lalu dengan tegas memaparkan semua kesalahannya dengan intonasi yang anggun.

Kesalahan yang dia lakukan adalah pertama, dia minta surat sakit padahal sehat. Kedua, dia minta surat sakit untuk hari sebelumnnya. Ketiga, kalau pun di harpitnas dia beneran sakit, tetep aja dia salah, karena baru minta surat sakit sekarang, dengan dokter yang berbeda. Keempat, waktu kemarin harpitnas dia bukan berobat di puskesmas, tapi di tempat lain. Dan sekarang minta surat sakitnya ke puskesmas. Mana bisa.

Untuk orang yang belum paham, pasti hal ini terdengar remeh. Padahal hal ini sudah tergolong pemalsuan surat. Hukumannya? Di penjara maksimal 4 tahun. Cek aja KUHP pasal 267.

Dulu waktu kuliah, boro-boro mikirin kayak gitu. Yang ada di kepala cuma belajar teori kedokteran. Nggak peduli dengan sesuatu yang berbau hukum. Yang penting belajar penyakit dan penanganannya supaya pasien sehat lagi. Padahal pas terjun kelapangan, kalau nggak ngerti hukum bisa dipenjara. Entah karena memang melakukan kesalahan atau karena dibodoh-bodohi oleh oknum. Se-kejam itu. Aku bodoh banget baru buka mata sekarang.

Dalam waktu 2 minggu ini juga aku mulai paham pola di Puskesmas Dewata. Sejak pagi biasanya ruang tunggu di depan BP udah kayak pasar. Rame banget. Apalagi tiap kamis, pas hari imunisasi, mendadak ada paduan suara dari dedek-dedek gemes yang nangis.

Sekitar jam setengah 12 siang, pasien sudah bisa dihitung jari atau bahkan, ada fase, deretan kursi yang ada di depan BP jadi kosong melompong. Nah, daripada bengong, biasanya aku akan main Ayodance di hp sembari nunggu pasien dateng.

Kandit, Billy, Ersya, dan dr. Anes udah paham kebiasaanku. Kalau aku pegang hp siang-siang dengan posisi landscape, pasti lagi main. Dan untungnya mereka sama sekali nggak mempermasalahkan hal ini. Toh, kan pasiennya juga ngga ada. Daripada melongo terus nggak ngapa-ngapain? Kalau ada pasien dan aku main game, baru itu salah banget. Tapi, kan ini nggak. Kalau mendadak ada pasien, aku buru-buru umpetin hpnya supaya tetep terlihat profesional. Nggak keliatan lagi main game. Menunaikan hak asasi itu boleh, asal tau tempatnya.

"Gila si Icha, nggak bosen-bosen main game," celetuk Billy sambil benerin posisi kacamatanya yang sedikit turun.

"Lo nggak tau aja sih Bil, dulu dia pas koas kayak apa. Sering main game. Tapi, gue salut sih, dia profesional. Tau kapan harus main dan tau kapan harus ngelakuin hal yang lain. Cuma yang gue nggak abis pikir, dia kalau ditanya sama konsulen pasti bisa jawab. Nilainya juga selalu tinggi. Otaknya encer banget. Peraih nilai UKMPPD tertinggi se-Indonesia juga, kan, si Icha. Dunia kadang nggak adil," Kandit menimpali dengan nada yang terlalu didramatisir.

"Wah dipuji. Sini Dit gue traktir!" aku menanggapi tanpa mengalihkan pandanganku dari layar hp. Masih game yang sama, Ayodance. BTW, mereka nggak tau aja, walaupun keliatannya sering main game, tapi dulu jaman kuliah kalau udah masuk kamar terus kunci pintu, aku langsung belajar berjam-jam sampe mau mati rasanya. Karena saat itu aku udah paham, kelak kalau jadi dokter kerjaannya akan berkaitan dengan nyawa manusia. Kalau aku nggak belajar bener-bener, ya ke laut aja.

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang