Pencarian Dimulai

645 61 18
                                    


Pagi ini, hariku diawali dengan chat Ben yang masuk. "Cha?? Emang aku kayak gitu ke kamu tuh gimana? :(((("

Chat-nya Ben muncul di pop­-up, aku udah baca, tapi sengaja nggak aku buka. Lebih memilih menyibukan diriku dengan deretan pasien yang mengantri untuk diperiksa. Selesai pelayanan di puskesmas, aku makan siang bareng Kandit. Cuma berdua, Billy sama Ersya nggak ikut karena lagi ada urusan.

Aku makan siang di salah satu restoran sushi yang ada di Beam Mall. Padahal mall ini mall langgananku karena deket rumah. Kalau kesini biasa aja. Tapi, sejak aku tau Ben pernah kesini, rasanya mall ini jadi nggak biasa. Ada secercah harapan kalau mungkin tanpa sengaja bisa ketemu Ben disini.

Fokusku tertuju ke hp. Bahkan aku mengabaikan Kandit yang ada di depanku. Aku sibuk merangkai kata untuk Ben.

"Ben, aku merasa kamu males bales chat aku. Paham sih sibuk karena handle project ayah kamu juga. Tapi, yang sibuk bukan kamu doang. Tiap orang pasti sibuk, pasti punya kegiatan masing-masing. Tapi, setiap orang juga pasti punya prioritas. Mana yang penting, mana yang ngga penting. Mana yang urgent, mana yang ngga. Aku kemarin-kemarin jadiin kamu salah satu prioritasku. Aku ngga minta kamu ngelakuin hal yang sama, tapi seenggaknya aku mau tau alesannya. Tapi, kamu nggak mau ngasih tau alesannya kan. Jadi, aku susah banget buat positive thinking. Bawaannya negative thinking. Nah, daripada makan hati, mending udahan aja. Aku akan berusaha biasa aja." Kali ini aku jujur sejujur-jujurnya. Peduli amat deh nanti Ben bakal marah, tersinggung, atau gimana. Aku udah terlalu banyak ngalah di depan Ben. Sekarang saatnya untuk perjuangin diri sendiri.

"Cha? Serius banget," ucap Kandit sambil makan sashimi. Kalau Kandit nggak ngomong, pasti aku nggak akan sadar kalau pesananku sudah melambai-lambai di atas meja.

"Iya nih... si Ben," ucapku sambil makan sushi tuna.

"Ben?" Kandit keliatan bingung.

"Iya, gue unblock Line dia semalem, terus jadi chat-chat-an lagi"

"Lo nggak punya harga diri ya, Cha?"

Aku langsung melongo. Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Kandit bikin tuna yang baru aja ketelen rasanya mendadak mau keluar lagi. Aku kenal banget sama Kandit. Nggak akan ada kalimat asal bunyi yang keluar dari mulutnya. Semua pasti udah dipikirin mateng-mateng. Bahkan Kandit nggak pernah bilang kalau mungkin aku lagi kena karma melalui Ben. Padahal kalau orang lain tau kisah Ben dan aku, pasti ada aja yang akan bilang itu bentuk karma. Makanya kalimat Kandit barusan bikin aku kaget setengah mati.

"Kenapa?"

"Sorry to say Cha, jujur kemaren gue lega banget karena gue pikir lo udah sadar. Tapi, nyatanya beda. Ben bener-bener bikin lo buta." Muka Kandit makin serius. "Ben ngga nyata Cha. Gue ngga akan ngakuin dia selama dia belum muncul dihadapan lo dan harusnya lo melakukan hal serupa."

Kandit biasanya rasional. Aku juga suka kalimat-kalimat nasehatnya. Tapi, kali ini beda. Entah kenapa aku merasa tersinggung karena Ben dibilang nggak nyata. Aku memilih lanjut makan diselimuti suasana yang ngga menyenangkan.

***

Ini udah jam sembilan malem. Ben masih belum bales chat. Aku mau pura-pura nggak peduli tapi susah. Daritadi sekalipun lagi ada kegiatan pasti selalu curi-curi kesempatan buat cek notifikasi Line. Tapi, chat dari Ben nggak ada. Rasanya deg-degan mau tau respon dia. Atau jangan-jangan dia marah dan ini semua akan berakhir gitu aja? Tuh kan negative thinking lagi. Daripada jadi mikir yang aneh-aneh, akhirnya aku buka laptop dan lanjut nulis kisahku dan Ben.

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang