Gotcha!

642 62 28
                                    

"Gimana kalau Ben nggak ganteng?" Kandit berusaha menyatukan jiwa dan ragaku. Sejak tadi, ragaku memang disebelah Kandit. Tapi, pikiran dan jiwaku sama sekali nggak ada di tempat yang sama.

"Gue nggak pernah bilang Ben ganteng, kan?" aku cukup yakin Kandit inget seratus persen wajah Ben. Dulu aku pernah kasih liat fotonya. Sekali sih, tapi ingatan Kandit bagus kok.

"Hahaha iya lo ngga pernah bilang dia ganteng" Kandit berusaha ketawa. Berharap suasananya membaik.

Aku jadi inget momen pertama kali Kandit liat foto Ben. Dia syok setengah mati. Bingung. Nggak paham dari sisi mana Ben bisa menaklukan hati seorang Tisa Aulia. Awalnya juga aku nggak berniat untuk suka sama Ben. Bahkan kalau diliat secara fisik, dia itu jauh di bawah standarku. Tapi, rasanya alam semesta merayuku untuk bisa jatuh hati padanya.

Tiga jam berlalu. Sekarang Kandit dan aku sudah sampai Bandung. Rasanya... jantungku mau copot kalo inget jarakku dan Ben makin deket. Aku mau tau kenyataannya, tapi... takut. Napasku mendadak jadi makin memberat. Cuma, setiap detik aku terus-terusan meyakinkan diriku sendiri kalau aku nggak boleh takut dan harus berani untuk cari tau kenyataannya.

Kandit memarkir mobilnya persis di depan The Harvest. "Yuk, Cha!"

Dahiku mengerut, "Kok, The Harvest?"

"Percaya deh sama rencana gue. Yuk!" Kandit langsung turun tanpa menunggu responku. Aku nggak punya pilihan lain selain percaya sama rencana Kandit. Biasanya sih idenya brilian. Mudah-mudahan aja kali ini juga.

Kandit langsung mendekat ke salah satu pegawai. Memesan sesuatu. Entah apa rencana yang ada dipikirannya. Aku memperhatikan Kandit dari salah satu sudut toko sambil duduk. Sesekali aku menghentakan kaki kananku ke lantai karena bosan.

Sekitar lima belas menit kemudian Kandit menghampiriku sambil membawa satu hampers ukuran sedang. Dahiku makin mengerut.

"Kenapa hampers?"

"Pertama, dia pengusaha properti yang mungkin sering dapet hampers dari partner-nya. Kedua, supaya keliatan meyakinkan. Kalo nggak salah lo pernah bilang ke gue kalau Ben tinggal di kawasan elit. Biasanya satpamnya ketat, kan? Jadi gue sengaja beli hampers yang harganya sejuta biar keliatan meyakinkan dan nggak mencurigakan. Mudah-mudahan..." Ucap Kandit.

Dahiku masih mengerut karena nggak puas dengan penjelasan Kandit. "Gue percaya sama lo. Nanti gue transfer uangnya."

"Santai Cha yang penting cari Ben dulu. Anw, alamat Ben dimana?"

"Gue ngga tau detail alamatnya. Tapi, salah satu rumahnya ada di Antapani Green Town. Itu rumah yang paling sering dia tempatin di Bandung. Dan... yup persis sama yang lo bilang, itu kawasan elite."

"Oke, yuk Cha" Kandit berjalan keluar toko. Hampers yang ia pegang diletakan di jok tengah mobil. Kandit memberi isyarat supaya aku masuk mobil. Lima detik kemudian dia juga masuk mobil. Kita berdua sama-sama di dalam mobil dengan mesin yang menyala, tapi nggak pergi kemana-mana. Kandit sibuk melakukan sesuatu dengan hpnya.

Nggak lama setelah itu, Kandit langsung keluar mobil ketika melihat ada pengemudi Go-Jek di parkiran toko. Karena penasaran, jadi aku mematikan mesin, mencabut kunci mobil, dan langsung mengikuti Kandit.

Cuacanya cukup panas, tapi aku nggak peduli. Rasa penasaran membuatku bisa bertahan di tengah teriknya matahari.

"Pak Ari ya?"

Bapak Go-Jek yang lagi jalan ke arah toko langsung menoleh tepat ketika Kandit menyebut namanya.

"Saya Kandit yang order Go-Send pak," ucap Kandit sebelum Pak Ari bisa berkata-kata.

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang