Max tersenyum bahagia, bahkan sengaja menggoda Yuke dengan menggenggam salah satu tangannya saat meletakkan nampan di atas meja. Yuke menepis tangan Max dengan wajah marah, namun menahan malu saat menatapku. Dia berkata maaf tanpa suara, lalu segera pamit. Seketika aku iri.

"Mungkin Lo harus tahu, Max. Alasan gue menikah dulu," lirihku dan memaksa untuk tersenyum.

"Tell me then. Tell me everything,"

***
11:30 WIB

Aku berjalan ke parkiran dengan langkah gontai. Rasanya melelahkan setelah menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Saga, serta kenapa aku harus bercerai. Sepanjang cerita Max hanya diam, dan sesekali memelukku saat aku tak kuasa menahan tangis. Setelah bercerita semuanya Max hanya tersenyum, menyerahkan sebuah amplop.

"This is your ticket," ucapnya kala itu sambil menyerah amplop putih tersebut.

"Tiket?" Tanyaku dengan suara parau setelah menangis.

"Gue selalu punya ritual untuk orang-orang yang ingin bercerai. Gue kasih mereka tiket, pergi berlibur, menyendiri, memberi mereka waktu untuk berpikir ulang selama seminggu,"

"Tapi gue mau, perceraian gue diurus secepatnya,"

"This is the rule, Lisa. 2 hari lagi Lo harus berangkat. Begitu balik dan Lo tetap ingin bercerai, gue bakalan urus perceraian Lo secepatnya. Bahkan, dalam sebulan Lo udah pisah secara resmi,"

Saat itu pikiranku berkecamuk, antara mengiyakan permintaan Max, atau mencari pengacara lain yang bisa membantu.

"Lisa," Max memecahkan lamunanku "Dari yang gue tangkap dari penjelasan Lo, all you need just communication sama suami Lo. Bahkan, Lo belum memastikan ke suami elo, apa dia masih cinta atau nggak sama istrinya. Meminta cerai tanpa mendengarkan penjelasan suami Lo sendiri itu hal yang paling egois. Nggak adil buat suami Lo,"

"Kok, Lo jadi bela Saga??? Temen Lo siapa sebenarnya di sini?" Aku mendadak emosi ketika itu.

"Whoa, whoa! Jangan marah, tapi suami Lo juga salah karena dia nggak menjelaskan terlebih dahulu, sampai bohong kayak gitu,"

"Terus, apa lagi yang gue harus tunggu?! Lo udah tahu yang sebenarnya," tembakku sedikit membentak karena mulai tidak sabar.

"Gue ngerti, Lo pasti marah karena dikhianati. Suami Lo juga nggak berusaha mempertahankan pernikahan ini. Meski hanya kesepakatan, di mata Tuhan dan negara kalian tetaplah suami istri yang sah. Asal Lo tahu, gue sedih kalo udah berurusan sama perceraian. Banyak yang berpisah karena ego, tapi tidak memikirkan yang lain. Beruntung, Lo belum punya anak,"

"Apalagi kalo ngurus perceraian orang terdekat gue, seperti hari ini. Please, ambil tiket ini. Pergi, nikmati kesendirian Lo, sambil merenung. Apa Lo perlu bercerai, atau tetap mempertahankan rumah tangga Lo?"

Itulah kalimat terakhir yang Max ucapkan dan masih terdengar jelas dalam otak ku saat ini. Apa aku benar-benar perlu bercerai atau tidak. Semuanya semakin membuatku bingung. Aku menjadi ragu-ragu dengan pilihanku untuk berpisah. Tapi, Saga pun seperti tidak ada usaha untuk mempertahankan rumah tangga ini. Kenapa selalu harus aku yang bertahan dan berusaha sedangkan dia dengan gampangnya mengiyakan kemauanku. Ah, sudah. Aku tidak butuh tiket ini. Aku meletakkan tiket tersebut dalam tas dan melajukan mobil ke apartemen Yolan.

Hari ini dia akan menghadap direktur rumah sakit dan memasukkan surat resign. Dia memintaku menemaninya, takut jika tidak bisa menghadapi Marco sendirian. Sebenarnya, aku juga takut, jika harus bertemu Saga. Dan Marly. Aku rasa tidak akan sanggup jika melihat mereka sedang berdua di rumah sakit. Membayangkannya saja rasanya sakit.

Are We Getting Married Yet?Where stories live. Discover now