FMN - 24. Menghilang

118 26 0
                                    

‍‍Oktober, rendahnya temperatur udara di kota Cambridge saat musim gugur cukup membuat penduduknya menggunakan jaket tebal. Tak terkecuali gadis berhijab yang tengah berjalan sembari mengeratkan jaket yang dikenakan.

Angin berhembus tenang, tapi cukup kuat untuk mengibarkan syal yang dikenakannya. Daun-daun kuning, jingga, bahkan merah berguguran melintasi jalan di kota ini. Terbang kesana kemari mengikuti alur sang angin. Indah. Satu kata yang terlintas di benaknya. Namun keindahan itu juga menyiksa gadis yang terbiasa tinggal di daerah tropis itu.

Meski sudah memakai pakaian tebal tak dipungkiri ia masih saja menggigil kedinginan. Tak terbayangkan olehnya bagaimana jika sudah memasuki musim dingin. Butuh berapa lapis pakaiaan lagi yang harus ia kenakan agar merasa hangat. Terkadang pemikiran itu terlintas begitu saja di benaknya.

“Oh, ini sudah lewat lima belas menit.”

Dengan tergesa, ia masuk ke dalam cafe yang berlogo halal. Udara hangat mulai terasa di kedua pipinya. Netra hitam wanita Asia itu menyisir seluruh bangku yang ada di sana, mencari sesosok yang sudah lama tak jumpa.

“Ivy!”

Suara itu.

Si pemilik nama menengok kesana-kemari. Di pojok ruangan, seorang pria berjaket coklat melambai padanya. Ivy menghampiri dengan senyum sehangat matahari. Akhirnya ada juga orang Indonesia yang akan menjadi temannya selama ia menyelesaikan pendidikan di negeri Paman Sam ini.

***

‍‍‍“Hm ... Wa'alaikumsalam.”

Yudha melempar asal ponsel ke kasur king sizenya. Melangkah menuju jendela kamar yang menghadap ke halaman belakang rumah Prayata. Ia baru saja menelpon Dana. Bertanya pada sahabatnya yang mungkin memiliki nomor ponsel baru Ivy, tetapi hasilnya nihil.

Begitu pula dengan kedua orang tuanya. Sejak enam tahun lalu–tepatnya setelah Ivy berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah mengambil beasiswa–nomor gadis itu tak bisa dihubungi.

“Apa ia ingin menghindar dariku?” gumam Yudha.

Netra coklatnya menatap lurus pepohonan yang basah karena rintik hujan. Memori itu kembali berputar, kejadian sehari sebelum gadis yang dicintainya pergi.

Yudha, maaf aku tidak bisa menerima lamaran kamu. Karena aku ingin mengambil beasiswa kuliah ke luar negeri.”

Yudha terkejut juga begitu kecewa dengan jawaban gadis itu. Namun ia mencoba tidak egois, mungkin Ivy hanya ingin menggapai cita-citanya melihat gadis itu masih sangat muda.

Ia meletakkan stick PS lalu bangkit dan mendudukkan diri di sofa berhadapan dengan Ivy yang menundukkan wajah.

“Ivy jika itu keputusanmu. Aku harap ini tidak ada sangkut pautnya dengan acara perjodohan malam itu. Karena sampai kapan pun aku hanya akan menikah dengan orang yang kucintai.”

Yudha menatap Ivy dengan sorot sendu. Sedang Ivy dibuat bungkam oleh pengakuan Yudha yang terdengar begitu tulus di telinganya.

Jadi, kapan kamu berangkat?” pertanyaan itu sukses membuat Ivy mendongak menatap lawan bicaranya.

Besok pagi.

Kenapa cepat sekali?” protes Yudha memasang wajah sebal sambil melipat tangan di dada.

“Ivy, Aku mau penerbangan kamu diundur seminggu lagi,” titah Yudha.

Ivy menggeleng kuat. “Gak bisa Yudha, aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri di sana,” tukas gadis berhijab itu mempertahankan keputusannya.

Forget Me NotWhere stories live. Discover now