FMN - 1. Foto

633 62 5
                                    

Dada berdebar dengan seluruh tubuh nyaris lemas, Ivy cemas dengan apa yang akan dilakukan lelaki dewasa tersebut terhadapnya. Di ruang kerja ini hanya mereka berdua saja, tak ada siapa-siapa. Dengan takut-takut, Ivy mengintip bapak bersetelan kantor itu. Di balik kacamata bacanya, ia membaca tulisan di sana, menyuarakan pelan.

"Halivyna Vidiaratty, dipanggil Ivy, kelahiran 1 Maret di Jakarta. Lulusan SMP tahun ini. Tempat tinggal Surabaya."

Ivy menunduk dalam kala pria 40 tahun tersebut menilik dengan tatapan menghunus. Sorot tajam matanya membuat keringat dingin bermunculan di dahi Ivy. Tangan bergetar Ivy meremas kuat gamis longgarnya.

"Tak ada pekerjaan untuk anak lima belas tahun. Maafkan saya, Nak."

Dahi Ily melipat. Pekerjaan? Bukankah aku dijual oleh ibu pada bapak ini, batinnya.

"Saya kenal ibumu itu. Dia memang mengirim salah satu anaknya sebagai ganti karena tak bisa membayar hutang pada saya. Lalu saya berencana untuk mempekerjakan anak itu di hotel."

Ivy mengankat wajahnya dengan penuh kelegaan. Ternyata dugaannya salah. Ia dibawa ke sini hanya untuk bekerja di hotel. Bukan dijual untuk melayani para lelaki seperti yang biasa ia temui di film dan novel.

"Ini diluar dugaan saya, ternyata dia mengirim anak bungsunya alih-alih anak sulungnya. Saya tak berani melawan hukum dengan mempekerjakan anak dibawah umur."

Segaris senyum getir terulas di wajah berbalut hijab. Tentu saja Ivy yang dikorbankan. Ibu Nanik tak akan menyerahkan anak kandungnya.

"Saya tahu kamu belum ada tempat tinggal. Untuk semalam saja, kamu bisa beristirahat di salah satu kamar hotel ini. Saya tak tega membiarkanmu berkeliaran malam-malam di tengah kota."

Dia menjeda sejenak, lalu meletakkan sebuah amplop di atas meja dan menyodorkannya pada Ivy. "Tolong terima ini juga sebagai permintaan maaf saya, karena tidak bisa menerimamu bekerja di hotel ini."

Ini terdengar aneh.

"Saya mohon terimalah ini, kamu sudah seperti putri saya sendiri. Terimalah semuanya, sebagai tanda bahwa kamu memaafkan saya," bujuk pria tadi.

Ingin sekali menolak, tapi Ivy tidak membawa barang berharga apa-apa. Barang seribu perak saja Ivy tak punya. Dan lagi, dia benar-benar tak memiliki tujuan. Tak ada seorang pun yang Ivy kenal di kota ini.

"Ambillah, Nak. Karena kamu akan membutuhkan uang itu. Dan tolong, singgahlah semalam saja di hotel ini."

Ivy meringis bimbang seraya melirik sebuah amplop di meja. Ivy memang membutuhkan uang juga tempat singgah sementara. Akhirnya, Ivy memang harus mengangguk menerima kebaikan orang ini sebab ia benar-benar tak punya pilihan.

Pria berjas melepas kacamata baca, tersenyum lebar pemberiannya diterima. "Saya punya putri seumuranmu. Kebetulan hari ini dia ulang tahun. Datanglah ke pesta ulang tahunnya di ballroom lantai satu."

Ia Lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. "Ini kartu nama saya, kunci kamar lantai sepuluh nomer 989. Ambillah, Nak. "

Wajah berbalut hijab itu mendongak, menyimpan kartu nama-yang sempat dibacanya-beserta kunci juga amplop pada tas selempang putih yang ada di pangkuan.

Pria itu tersenyum sekali. "Jangan lupa datang ke acara ulang tahun anak saya jam delapan malam."

Ivy mengangguk, menyanggupi undangannya, lalu mengucap terima kasih. Membalas senyum pria bernama Tian. Kemudian berlalu dari ruangan membawa koper biru juga tas putih di bahunya.
.

Ivy bangkit dari duduk, membuka pintu kaca yang membatasi kamar dengan balkon. Semilir angin sore menerpa wajah dengan penuh kelembutan. Hijab biru yang masih dikenakannya bergerak seirama dengan udara.

Forget Me NotWhere stories live. Discover now