Chapter 21 - Thrill

9.3K 721 27
                                    

"Di sinilah tempat kakak membunuh ayah."

Perlahan kuarahkan kepalaku menuju ruangan mirip aula yang kusadari tak memiliki perabotan apa-apa itu, kilauan cahaya oranye rambutku memaksa indra penglihatanku untuk mengupas misteri yang tertoreh serta terngiang dalam ruangan itu. Figura bertakhtakan emas yang memuat lukisan keluarga kerajaan menampakkan wajah-wajah anggun para saksi, pelaku, serta korban sebuah tragedi yang nyaris menghancurkan riwayat kehidupan mereka terpampang jelas di dinding, senyum yang awalnya terkesan begitu lembut di paras mereka kini seakan-akan mengempis.

Dan sinar bulan menyorot lokasi penghujung ruangan ini dengan terang. Sebuah jarum tajam seakan menusuk mataku dari silaunya pantulan sinar bulan di atas lantai yang ditinggalkan itu. Pedih melilit kalbu yang kini meringkuk dalam nuansa ketakutan, rasa sakit mencekik pernapasanku sehingga aku meraih dadaku untuk menarik napas dalam-dalam.

Di sana.

Aku mengalihkan pandangan dari ruangan itu, berlari. Berpacu melalui Stella yang tampak muram dengan mata ungunya yang sayu dan gaun malamnya yang putih keabu-abuan karena berkas debu dari ruangan itu. Stella sedikit mengernyitkan alisnya menatapku yang berlari penuh penyesalan.

"Maafkan aku. Tak seharusnya aku berada di sini," jeritku sambil menapaki tangga menuju terangnya cahaya kandelir yang berseri dengan maraknya, menuntunku menuju ruang-ruang megah, tangga-tangga, rute-rute menuju kamarku.

Pandanganku memburam dengan bias sinar istana yang berbaur menjadi satu oleh air mata yang terus berlinang, sementara motorikku tak sudi berhenti hanya untuk bernapas dengan leluasa. Betis dan pahaku terbakar karena lelah yang tak tertahankan, namun emosi semakin melejit dari kenangan-kenangan yang mendominasi pikiranku dan memaksanya untuk terus bergerak. Aku telah melakukan sebuah kesalahan, rasa keingintahuanku telah mencoreng luka yang telah lama tersayat. Aku kembali memperingatkan diriku sendiri, bahwa aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang asing yang diberi tempat tinggal. Mereka memiliki rahasia yang tak sepatutnya kuusik.

Aku tak sepatutnya tahu, andai saja aku tak pernah bertanya soal apa pun tentang masa lalu mereka. Kutukan kulontarkan pada diri sendiri dalam hati, sesal menjalar merasuki ragaku. Aku menyesal. Aku sangat menyesal. Aku sangat...

BUKK!

Tubuhku tiba-tiba menghantam sesosok bayangan yang tak kusadari ada di depanku. Dada yang bidang menjulang di hadapanku, tangan-tangan lembut mencengkeram pundakku. Aku mendongak, Kyle menghadangku dengan tatapannya yang nanar.

"Apa yang terjadi padamu?" Suara Kyle terdengar lantang dan prihatin, ekspresi pahit terlihat di iris ungunya saat mengusap air mataku yang berlinang.

Aku mendorongnya menjauh, melempar tangkupan tangannya yang sebenarnya sangat menenangkanku. Aku menggeleng, tak mengatakan apa-apa, lalu berlari menjauh darinya. Sengatan pikiran buruk seakan terus mengejarku dan kakiku terus berlari untuk menghindar dari tangkapannya, walau sia-sia saja.

Hingga aku tiba di dalam kamar. Aku menghukum diriku sendiri dengan meringkuk bersama penyesalanku di atas ranjang. Bayangan hitam serta cercahan sinar bulan yang begitu mencekam dari ruangan itu terbayang-bayang dalam benakku. Pangeran Zveon dan Stella yang masih kecil. Kedua orang tuanya yang wajahnya tertutupi bayangan. Hingga sorotan mata merah tajam Pangeran Zveon yang kubandingkan dengan mata ungu kristal sosok kecilnya bertahun-tahun yang lalu.

"Aku baik-baik saja dengan kondisi ini. Jangan pernah berpikir bahwa aku menderita, karena aku sama sekali tidak menderita," kata Pangeran Zveon di masa lalu. Refleksi lengan-lengannya yang mengelilingi tubuhku serta hembusan napasnya yang dingin di telingaku terkenang oleh sarafku.

Aku tahu dia takkan menderita. Dia orang yang kuat.

Tapi Stella?

Stella takkan memaafkan dirinya sendiri. Betapa hancur hatinya menyaksikan kakaknya tersiksa dengan penderitaan di tengah kewajibannya mengekang tanah air. Aku tak tahu apakah Stella pernah melepaskan emosi yang mencengkeram kenangannya dengan berbincang dengan orang lain. Namun ia tidak terlihat seperti seseorang yang terbuka, tak peduli seberapa seringnya ia berlaku ramah. Ia tak pernah menceritakan segalanya padaku. Aku tahu ia hanya ingin menyimpan kesedihan itu untuk dirinya sendiri, dan ia tak mau membuat seorang pun menderita karenanya—lagi.

Dark and Light (Wattys 2016 Winner)Where stories live. Discover now