Chapter 32 - The Princess's Despair

8.4K 762 89
                                    

Hari itu, aku bersandar pada balkon istana yang rendah. Pepohonan flamboyan dengan dedaunan lebat dan kuncup-kuncup bunga merahnya bergerak gemulai dan jatuh dengan tarian indah. Beberapa berkelebat memasuki lantai istana, seakan ingin menyapaku dengan kelembutannya. Langit West yang cerah dan bijak menghembuskan anginnya yang bersahabat.

Quartz-ku menyerap stimulasi itu semua dengan detakan pelan. Tetapi ia tetap tegang. Aku mengerutkan alisku begitu pandanganku menyusuri tenangnya alam sekitarku. Burung-burung berkicau merdu, seperti terompet yang bergembira karena kemenangan Fantasia Cosmo.

Aku seharusnya tidak merasa khawatir lagi. Pangeran Zveon telah memenangkan pertarungannya, kembali dengan membawa kekuatan dahsyat di tubuhnya. Lalu, Fantasia Cosmo telah meluaskan kuasanya. Tetapi, ada sesuatu yang kulupakan. Sesuatu yang amat berarti. Quartz-ku mempercepat degupannya, seakan ia ingin memberitahuku apa yang salah.

Angin kembali menderu. Aku menyipitkan mata, sementara bayangan lahan yang kehijauan serta dedaunan menguasai pandanganku.

Hijau...

Sebelum aku menyadarinya, sang wanita pelayan, Denna, datang menyapaku dan ia menyodorkan sepucuk surat padaku.

Aku menyambar surat itu, kedua tanganku bergetar tak karuan. Quartz-ku bergemuruh dalam dada hingga napasku semakin sesak karenanya.

Aku tak sadar tanganku telah merobek amplop itu dan membuka pesan yang ada di dalamnya buru-buru. Perasaan gundah kini beralih menjadi rindu yang amat menyakitkan. Sebelum aku dapat membaca rangkaian huruf bertinta hitam pada secarik kertas itu.

George, bagaimana bisa aku melupakannya!? Setelah semua peperangan yang aku lalui ... serta petualangan jauh dan kengerian ... bisa-bisanya aku melupakan kakakku?

Aku bernapas dalam-dalam, dan menguatkan diri untuk membaca tulisan itu baik-baik. Setidaknya George telah mengirimi aku balasan, setelah sekian lama. Kuulas senyuman lega. Aku rindu padanya. Sangat rindu padanya.

Dear Ziella,

Halo, adikku yang manis. Maaf ya aku membuatmu bingung di pesan-pesanku yang sebelumnya. Entah apa yang kupikirkan waktu itu... mungkin aku sedang sakit atau bagaimana. Kabarku baik-baik saja. Aku melalui hari-hari seperti biasanya—menanam bibit dan memanen buah-buahan dan berdagang. Hei, apa kau tidak rindu pada Gerard? Ia sangat rindu padamu, loh. Ia terus menanti-nantimu untuk kembali pulang. Gerard selalu menemaniku di sini, untung aku tidak sendirian. Kau tidak perlu khawatir denganku.

Pasti kau amat senang di sana, yah. Aku dengar-dengar kabar bahwa baru-baru ini terjadi peperangan di North-West. Aku harap kau tidak pergi berperang... karena George aku akan sangat marah bila kau terluka... hahaha...

Aku sangat merindukanmu, Ziella. Tetapi, semoga waktu bisa mempertemukan kita kembali.

Semoga kita semua kembali.

With love,

George.

Aku meratapi pesan itu sambil merasakan segelintir perasaan bersalah. Well, aku tidak pergi berperang ... tetapi, aku sempat terluka karena perang itu. Itu karena kemauanku sendiri, dan aku yakin George pasti bisa mengerti.

Aku menyentuh tulisan itu dengan jemariku yang ramping. Sebuah keanehan terasa menggelitik di pikiranku. Tulisan George bukan seperti ini ... biasanya tulisan tangannya berbentuk tulisan indah bersambung yang rapih. Sedangkan, tulisan itu terlihat kaku dan kasar. Dan ia bercerita terlalu banyak tentang Gerard di dalamnya.

Dan apa maksudnya semoga kita semua kembali? Kita—siapa? Dan kembali ... ke mana?

Aku menggeleng-geleng, sekuat tenaga menghapus semua keraguanku pada George. Buat apa aku terlalu memusingkan hal-hal remeh seperti ini? Bukankah ia telah membalas pesanku dengan sesuatu yang lebih normal...?

Dark and Light (Wattys 2016 Winner)Where stories live. Discover now