Chapter 5 - The Past

12.7K 1K 20
                                    

Hijau. Bias sinar rambut itu terus menghantuiku. Aku merindukan George, padahal belum sehari aku meninggalkannya. Namun aku sudah merindukan banyak hal tentangnya. Aku merindukan kebunku, di sanalah aku dan George bekerja sepanjang hari, menanam bibit, mencangkul, memanen, dan sebagainya. Aku juga merindukan Gerard, yang selalu ada di saat ia membutuhkanku. Sungguh, semua kenangan itu terus menghantuiku dalam mimpiku.

"Selamat jalan. Kau berhak untuk hidup bebas dan menggapai cita-citamu. Aku menyayangimu, adikku."

"Aku menyayangimu, adikku..."

Hmm, adik? Tapi aku bukan adiknya... Mungkin, George akan terus menyayangiku seperti seorang adik. Ya, aku juga akan selalu menyayanginya sebagai kakak.

"Nona muda, kau baik-baik saja?" Tiba-tiba aku mendengar suara seorang gadis.

Aku cepat-cepat terbangun. Aku terduduk di bangku meja belajar di perpustakaan. Buku-buku bertumpukan dan tergeletak di meja. Aku memegang pena yang tadinya akan kugunakan menulis di atas buku. Aku menyadari, aku terlalu lama membaca hingga tertidur. Aku menatap gadis yang membangunkanku. Ia berpakaian hitam seperti Denna, ia pasti pelayan.

"Aku baik-baik saja. Aku hanya ketiduran," jelasku malu. "Mmm.., terima kasih sudah membangunkan aku. Kalau boleh tahu, sudah berapa lama aku tertidur?"

"Ini sudah waktunya makan siang, nona muda," terang pelayan itu. "Sebaiknya Nona segera bergegas ke ruang makan sekarang."

Aku mengangguk. "Baiklah, aku akan pergi sekarang," kataku. Pelayan itu pergi meninggalkanku.

Aku merenggangkan otot-ototku, lalu segera bergegas ke ruang makan. Aku telah melalui jalan-jalan menuju ruang makan, tapi aku tidak yakin bisa mengingat rutenya. Setelah melalui tangga menurun dan beberapa koridor, aku akhirnya menemukan ruang makan. Kali ini, hanya Putri Stella yang ada di meja makan. Aku segera bergabung dengannya.

"Selamat siang, Putri Stella." Aku menyapanya dengan hangat. Putri Stella mengangguk, membalas sapaanku. "Kau sudah pulang sekolah rupanya?"

Aku menghampiri meja makan dan duduk berhadapan dengan Putri Stella. Aku memandang makanan yang menggiurkan. Aku merasa berada di surga saja, dapat mencicipi makanan selezat itu.

"Ya, sekolah memang cukup cepat," jawabnya. "Aku selalu pulang sebelum waktu makan siang."

"Pangeran belum selesai dengan urusannya ya?" tanyaku penasaran. "Omong-omong, boleh aku tahu dimana dia bekerja?"

"Ya, tentu saja dia akan selalu lembur setiap harinya," keluh Stella. "Aku sangat prihatin dengan kakakku. Bagiku dia terlalu gemar bekerja! Dan dia bekerja di banyak tempat, kadang-kadang ke luar Demozre, atau di dalam istana, atau di West Wing, mengadakan rapat dengan Ratu."

"Kau harus bangga memiliki kakak sepertinya, Putri Stella. Dia itu pangeran yang bijaksana," timpalku antusias. "perkerjaannya pasti tidak mudah, tapi aku yakin, dia pasti orang yang kuat." Aku tersenyum menyemangatinya.

Putri Stella tersenyum. "Apakah kau punya kakak juga, Ziella?" tanyanya.

George. Rambut hijaunya yang berkilau. Semuanya bagaikan sekelebat bayangan yang terpancar di hatiku.

"Tentu saja," jawabku agak sedih. "aku sangat menyayangi kakakku. Aku sedih harus meninggalkannya."

Putri Stella terkejut. "Mengapa kakakmu tidak pergi bersamamu?"

"Karena kakakku berpikir, aku berhak menentukan kebahagiaanku sendiri. Sedari kecil, aku sudah tidak tahan hidup terpencil di sebuah desa," ucapku. "Akhirnya... Aku meninggalkannya."

Terjadi keheningan sesaat. Putri Stella memandangiku penuh rasa iba.

"Maafkan aku," kata Putri. "tapi kau pasti akan bertemu dengannya lagi kan? Kau tidak perlu bersedih, Ziella." Putri Stella memegang tanganku. Aku menggenggamnya.

Dark and Light (Wattys 2016 Winner)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang