22. Pengakuan[ 3rd POV]

12 6 0
                                    

3 bulan kemudian...

Begitu bel tanda ujian telah usai, semua murid kelas dua belas meninggalkan ruang ujian dan tidak sabar untuk pulang ke rumah ingin melepas penat. Jordan sendiri memutuskan untuk pergi ke penjara setelah melepas penat di rumah.

Kondisi Ana tidak membaik. Psikiater pernah bilang kalau Ana mengalami depresi yang sangat berat dan karena dia pernah mengalami tekanan mental, kondisi kejiwaannya semakin memburuk.

Saran psikiater tersebut, adalah agar Jordan mengikuti saja apa yang hendak Ana inginkan atau katakan. Lalu kalau bisa, Jordan menyisipkan sedikit memori- memori Ana sebelum dia mengalami tekanan mental dan menjadi narapidana.

Papa dan Mama Ana sama sekali belum bisa menerima keadaan Ana. Mereka hanya ingin nama baik mereka sebagai seorang dokter dan keturunan Astonbelt- Mackenzie tidak tercemar. Lain halnya dengan Calvin, Yohana, Yosafat, dan Cathy. Mereka masih sering berhubungan dengan Jordan untuk mengetahui keadaan Ana.

Walaupun sering berkomunikasi, Jordan tetap tidak tahu dimana mereka semua sekarang berada.

" Jo, emang bener Christia XI IPA-2 itu jadi narapidana? Sama kayak Nicole Pramudya dan Dinda?" tanya Azka, teman sekelas Jordan yang diam- diam menghampiri Jordan. Jordan segera menoleh lalu melemparkan pandangan datar.

" Apa hubungannya sama gue?" sinis Jordan acuh tak acuh. Azka hanya mengangkat bahu kasual. Dia memandang sekitar untuk mengetahui apakah ada orang lain di sekitar mereka atau tidak.

" Lo kan gebetannya si Ana," bisikan Azka membuat Jordan sedikit terkejut.

" Sok tau lo!"

" Nih, buktinya. Biar lo percaya omongan gue," ucap Azka sambil menyodorkan handphonenya yang memutar video Ana mengungkapkan perasaannya kepada Jordan. Jordan hanya bisa diam membisu memutar video itu.

" Dapat darimana?"

" Gue ngerekam video ini sendiri," ucap Azka, "Gue naksir sama si Christia sejak gue lihat dia main piano di auditorium sekolah," lanjut Azka membuat Jordan tidak tahu harus menjawab apa.

" Gue enggak ada hubungannya sama Christia. Enggak peduli," jawab Jordan dingin. Azka hanya bisa terpaku dan tidak bisa berkata apa- apa sampai Jordan mengendarai mobilnya meninggalkan sekolah.

***

Jordan masuk kembali ke dalam mobil tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia telah mengunjungi Ana, dan kondisinya masih belum pulih. Gadis itu terus- terusan menyebut dirinya sendiri sebagai Vanilla. Jordan sendiri sudah lelah dan ingin menyerah.

" Gimana keadaannya?" pertanyaan Dokter Richard membuat Jordan terperangah. Jordan sempat melirik ke arah Natalie yang terlihat tenang dan juga menunggu jawaban Jordan.

" Masih belum pulih," jawab Jordan singkat dan terdengar tidak ingin ditanya lebih lanjut. Keheningan beberapa saat di dalam mobil membuat kecanggungan yang tidak biasa.

" Mama dan Papa sudah mengurus keberangkatan kamu ke Amerika," pernyataan dari Tante Aurelia spontan membuat Jordan melemparkan pandangan tajam.

" Apa? Tanpa bertanya lebih dulu?"

" Kamu terobsesi dengan keberadaan Lala. Kami semua tidak tahan dengan keadaan kamu, sayang. Kami hanya ingin masa depan kamu cerah, bukan berakhir dengan menangisi kemalangan dari kebodohan gadis itu," jawab Tante Aurelia tegas dan tidak terbantah.

" Kalau gitu coret nama gue dari silsilah keturunan Panduwinata," ketus Jordan membuat Papa berhenti menyetir sementara Natalie menampar Jordan.

" Jaga cara bicara kamu, Jordan!" amarah Tante Aurelia mulai memuncak. Jordan hanya diam dengan sorot mata dingin yang menyembunyikan sebetapa marahnya dia pada dunia dan kedua orangtuanya.

PromisesWhere stories live. Discover now