18. Waltz[ 3rd POV]

8 6 0
                                    


Bulan Desember...

Ana menatap gambar tuts- tuts piano yang ada di sekelilingnya. Alat musik yang selalu membuatnya dikucilkan, dipojokkan dan tersiksa, kini akan menemani Ana untuk menghibur hati setiap penonton yang datang untuk melihat kompetisi ini. Kompetisi ini diselenggarakan oleh pihak sekolah dengan beberapa pihak luar yang menjadi sponsor.

Banyak saingan Ana yang sangat bagus dan akurat dalam memainkan piano. Ana tau tujuan mereka semua memainkan piano seakurat itu adalah untuk memenangkan kompetisi dan mendapat beasiswa ke London untuk memperdalam musik, khususnya piano.

Ana sendiri bermain bukan untuk memenangkan kompetisi. Alasannya selama ini berjuang untuk belajar mencintai piano dan mengerahkan seluruh pikiran serta tenaganya untuk piano adalah karena dia ingin orang- orang yang ia sayangi melihat bahwa Ana bukan lagi Ana yang penakut dan bodoh.

Ana ingin belajar untuk mencintai piano. Dan sejak Ana sembuh dari rumah sakit, Ana sudah memantapkan hatinya untuk berlatih piano sampai dia bisa. Waktu yang biasa Ana luangkan untuk balapan dengan Davis, Dimas, dan beberapa anggota gengnya, sudah diganti dengan berlatih piano sampai bisa. Diam- diam, Ana meminta Nicole mengajarinya karena Nicole juga sangat pandai bermain piano.

Nicole sudah menceritakan semuanya kepada Ana dan mereka berdua telah berbaikan. Reza juga sudah mereka datangi ke penjara dan Reza juga sudah menceritakan semuanya kepada Ana. Nicole dan Reza juga sudah berbaikan. Kini, mereka bertiga telah menjadi sahabat dekat.

Satu- satunya yang menghilang dari mereka adalah Jordan. Jordan kini jauh lebih dekat dengan Dinda dan setiap waktu selalu bersama Dinda, tampaknya.

" Ingat ya Na, lo harus tenang dan enggak usah gugup. Jadi seorang pianis bukan juara yang dibutuhkan tapi seberapa besar keberhasilan lo menghibur hati para penonton. Cukup bermain dengan kemampuan terbaik lo. Urusan kalah dan menang, itu belakangan," ucap Dinda mengacungkan jempol sambil tersenyum lebar.

Ana balas tersenyum, meskipun hatinya masih sedikit gugup.

" Eh, Ana! Nicole!" suara teriakan Calvin masih bisa terdengar oleh Ana dan Nicole hingga mereka berdua menoleh ke arah Calvin yang berlari mendekati mereka. Calvin memeluk Ana dan juga Nicole.

" Gue yakin lo bisa lakukan yang terbaik, Na. Gue mendukung lo dan lo harus tau kalo Papa dan Mama bakal datang ke sini buat nonton kompetisi lo. Khusus karena lo," ucap Calvin lembut dan mengusap kepala Ana dengan sayang.

" Makasih, bang. Gue janji bakal berusaha sekeras mungkin. Gue enggak mau jadi satu- satunya anggota keluarga Astonbelt dan Mackenzie yang terbuang," ucap Ana dengan penuh tekad.

Dan gue mau Jordan buat liat permainan gue. Gue sadar kalo gue sayang sama dia, meskipun mungkin terlambat. Gue hanya butuh dia tau kalo perasaan gue bakal tersampaikan melalui permainan ini, lanjut Ana dalam hati.

Calvin menepuk kepala Ana dengan sayang.

" Good luck, deh adek gue yang paling gue sayang," ucap Calvin hangat. Calvin mengajak Nicole ke ruang penonton sedangkan Ana berjalan ke ruang hijau. Di sana sudah banyak peserta- peserta yang sibuk menghafal partitur juga mendengar rekaman permainan mereka saat sedang berlatih.

Ana merasa sangat gugup tentunya.

" Lo gugup?" tanya Bian, anak kelas XI IPA- 10. Ana menoleh ke arahnya. Bian, si bintang panggung opera, sedang berbicara kepada Ana. Tentu Ana sangat senang. Bian terkenal sebagai pianis muda sampai ke kancah internasional.

" Iya, gue gugup. Lo?" tanya Ana balik. Bian tersenyum miring lalu duduk di samping Ana.

" Yah, semua orang pasti punya rasa gugup sebelum tampil di depan semua orang. Tapi gue sih stay cool aja. Karena kalo gugup berkepanjangan, gue entar lupa semua isi partiturnya," jawaban Bian membuat Ana tersenyum kecil. Keduanya mulai berbicara dan semakin akrab. Ana sangat kagum pada Bian.

PromisesWhere stories live. Discover now