6. Terbongkar [ Ana's POV ]

18 9 0
                                    

" Lo Reza Prananda, kan?" tanyaku yang masih merasa sulit untuk mempercayai bahwa orang yang kutaksir berada beberapa sentimeter di hadapanku. Sungguh sulit dipercaya. Reza mengangguk kalem, lalu menoleh ke arah mobil Lamborghini Gallardoku, Davis. Dia menoleh kembali ke arahku dan menyunggingkan senyuman tipis.

Astaga! Aku menunduk, merasa meleleh melihat senyuman tipis itu. Senyuman yang baru kali ini kulihat. Jantungku semakin berdebar kencang.

" Lo ternyata kenal gue. Kalo gue enggak salah, lo yang namanya Ana Vettel, kan?" pertanyaannya membuatku mendongak. Dalam hati aku merasa miris.

Udahlah Na. Reza itu enggak pantes buat lo. Dia aja enggak tau nama lo yang sebenarnya. Apalagi, kenal lo, suara batinku membuat hatiku semakin teriris. Aku mengangguk pelan.

" Bener apa kata yang lainnya. Lo enggak bisa ditandingi," ucapnya lalu terkekeh pelan. Aku meneguk salivaku saat melihatnya terkekeh. Sungguh pemandangan yang tidak lazim, saat melihat Reza terkekeh dan melemparkan senyuman tipis padaku. Soalnya, sepanjang sepengetahuanku Reza itu orangnya dingin, tenang, dan kalem. Yah, meskipun pernah ada desas- desus kalau dia punya hobi buruk. Tapi saat itu, aku tidak menyangka kalau hobi buruknya itu sama sepertiku. Balapan liar.

" Ah! Gue biasa aja, kok," ucapku jujur. Ya jelaslah aku biasa saja. Lagian dibandingkan Sebastian Vettel, aku ini tidak ada apa- apanya. Reza malah melemparkan senyuman simpul.

" Omong- omong, gue minta maaf, ya. Kaca spion mobil lo jadi rusak," ucapannya membuatku terbelalak. Apa jangan- jangan...

" Iya. Gue tuh rival lo. Jeff abang gue. Dia ketua tim balapan kami," lanjut Reza seolah bisa membaca pikiranku. Aku meneguk salivaku. Lagi. Reza itu ternyata rivalku. Aku menatap ke arah mobil Ferrari hitam mengilat yang ada di belakang mobilku. Mobilnya Reza. Pantas saja, aku merasa mobil itu familier. Mobil itu sering dibawa Reza ke sekolah.

" Eh, gue minta maaf, Za. Mobil lo juga jadi rusak, karena gue tabrak," sesalku. Gimana tidak menyesal, kalau ternyata aku merusak barang orang yang telah lama kutaksir? Bagaimana kalau nanti, Reza malah membenciku? Duh! Sial, deh.

" Enggak apa- apa kali, Na. Lagian dalam balapan, tabrakan atau serempetan itu hal biasa. Mobil lecet juga udah biasa," ucapnya kalem dan tersenyum maklum. Haduh! Meleleh hatiku melihat senyumannya.

" Eh, mana uangnya? Kasih dong ke Ana, " todong Dimas pada Jeff yang sudah merasa malu. Rasain tuh! Makanya jadi orang jangan suka ngeremehin orang lain. Kena karma, kan?

Jeff mengeluarkan uang berwarna merah dalam 10 gepok. Aku tertegun melihat jumlah uang tersebut. Itu berarti jumlah uangnya Rp 10.000.000, 00. Jeff berjalan ke arahku dengan wajah malu. Anggota yang se- tim denganku berteriak senang. Sementara anggota tim Jeff yang lainnya, memandang lesu.

" Kok bayarannya banyak banget, sih? Biasanya kan taruhannya paling tinggi sejuta, doang," ucapku yang masih tidak habis pikir. Gila! Uang sebanyak sepuluh juta itu bisa buat jalan- jalan.

Jeff memandangku dengan malu dan tersenyum tulus. Dia menepuk pelan pundakku dan menyodorkan uang tersebut ke arahku.

" Gue yang buat taruhannya jadi sepuluh kali lipat dari batas maksimal. Karena gue pikir, Ana Vettel itu enggak sehebat yang orang lain bicarain," ucapnya dengan nada menyesal. Tidak ada lagi, nada remeh atau angkuh pada suaranya.

" Tapi, gue tuh balapan karena hobi dan buat taruhan dalam jumlah yang kecil, Jeff. Kalo lo ngasih sebanyak ini, mah, sama aja lo bayar gue buat kerja jadi pembalap," ucapku yang merasa sangat tidak enakan. Bagaimanapun, kami kan masih anak sekolahan. Taruhan dalam jumlah besar itu, keterlaluan namanya.

" Gue bukan tipikal pengingkar janji, Na. Gue udah sepakatin buat ngasih taruhan dalam jumlah yang besar. Otomatis, gue harus nepatin janji sesuai kesepakatan," ucapnya dengan nada kalah. Dia melemparkan tatapan marah kepada Reza, yang balas menatap dengan dingin.

PromisesWhere stories live. Discover now