1 | Pertemuan

3.4K 182 1
                                    

******

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

******

*******

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


*******

KRIIIIING!

Bunyi bel istirahat membuat semua murid bersorak gembira. Siapa yang tak gembira jika pelajaran yang sangat amat mereka benci —matematika lebih tepatnya telah usai.

"Baiklah cukup sampai disini dulu pelajarannya, selamat beristirahat." Ucap Bu Betti dan keluar dari kelas.

"Lan? Mau ikut ke kantin ga?" Pertanyaan itu sukses membuat Alana menoleh dan menatap Kiana dengan datar.

Alana menggeleng seolah itu jawabannya. Kiana menghela nafas dan memukul pundak Alana pelan.
"Yaudah deh, ntar gue beliin lo makan," ujarnya sebelum ia melenggang pergi.

Alana menghela nafas dan keluar dari kelas untuk menyegarkan otaknya. Ia berjalan di koridor sambil sesekali melirik ke lapangan yang dimana kumpulan cowok tenar disekolahnya tengah bermain basket.

"Hey awas!"

Teriakan itu sontak membuat cewek itu menoleh dan ia terkejut begitu bola basket mengenai tepat di kepalanya. Perlahan Alana terjatuh di lantai yang membuat aktivitas bola basket terhenti.

"Hey, lo gapapa?" Perlahan Alana mendongak keatas dan melihat seorang cowok yang tengah menatapnya dengan kekhawatiran.

Itu Alzetta Denmuazzar. Siapa yang nggak kenal dengan cowok itu. Salah satu bintang sekolah dan hampir semua kaum hawa sangat tergila-gila dengannya —terkecuali dirinya.

Alzetta menyodorkan tangannya dan membantu Alana untuk berdiri. Tidak sedikit yang melihat adegan itu. Ada yang mencibir, ada juga yang menatapnya khawatir sambil merekam kejadian tersebut. Mungkin untuk di jadikan sebuah dokumentasi kalau bahwasanya seorang bintang sekolah menolong cewek introvert karna tidak sengaja tertimpah bola basket. Sial memang.

"Seharusnya gue ga terlahir di dunia ini," umpat Alana kecil tapi masih dapat didengar oleh Alzetta.

Alzetta terkekeh. "Jangan bicara seperti itu. Seolah lo adalah manusia yang sangat sial di dunia ini," Ucapnya.

"Ya itu benar." balas Alana dan berjalan meninggalkan cowok tersebut yang diselimuti pertanyaan.

Alana berjalan dikoridor dengan tatapan kosong. Wajah cowok itu masih tergiang-giang di pikirannya. Bukan ketampanannya. Melainkan kekhawatirannya.

Bruk!

Lagi dan lagi ia merasa hari ini adalah hari kesialannya. Tubuhnya tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang.

"Lan?" Alana menoleh dan ternyata orang yang barusan tak sengaja ia tabrak adalah Kiana. Sahabatnya sendiri.

Alana menghela nafas. Kemudian mereka berjalan sejajar. "Bisa ga sih gue ga sial satu hari saja? Atau mungkin bisa ga sih gue ga terlahir dengan nasib yang sial?" Tanya Alana pelan yang membuat Kiana menatap cewek itu bingung.

"Lo bukan cewek yang sial. Jangan menganggap diri lo seperti itu." Tegur Kiana. Dia bahkan bingung sama sahabatnya itu yang selalu saja menyalahkan dirinya sebagai cewek pembawa sial lah, bla bla bla.

"Buktinya orangtua gue saja anggap gue seperti itu. Cewek pembawa sial," balas Alana.

Kiana berhenti melangkah. Ia memegang kedua bahu Alana dengan tatapan tajam. Dia sangat tak suka ketika Alana menjelekan dirinya sendiri.

"Gue ga suka kalau lo seperti ini terus. Denger ya, ada orang yang lebih buruk nasibnya dibanding lo. Bahkan sangat-sangat-sangat buruk dan sial Lan!" Ujar Kiana kesal, sedangkan Alana hanya menatapnya sembari memejamkan mata.

"Gue mau pulang. Capek sekolah," Alana menepis tangan Kiana dan berjalan meninggalkan sahabatnya itu.

• • • •

Mobil alphart putih itu terparkir rapih didepan rumah mewah milik Alana.
Alana keluar dari mobil dan masuk ke rumahnya. Di ruang santai, terdapat seorang cowok yang tengah sibuk bermain xbox.
Alana menaiki tangga dengan malas.

"Al?"

Alana menoleh dan melihat cowok itu dengan tatapan datar. Cowok itu sepupunya yang bermana Elakahfi Danish.
"Kenapa cepat pulang?" Tanya Anish.

"Capek. Disekolah banyak hantu." Jawab Alana asal dan kembali menaiki tangga menuju kamarnya.

Alana menutup kembali pintu kamarnya dan menyimpan tas sekolahnya di meja belajar. Di meja belajar, terdapat satu frame yang dimana dirinya dan juga kedua orangtuanya yang sedang menghabiskan sisa liburannya dipantai. Of course itu kenangan masa lalu. Sebelum orangtuanya sibuk dengan urusan masing-masing.

Alana merebahkan tubuhnya di kasur king sizenya.

Tok! Tok!

Perlahan pintu terbuka dan terlihatlah Anish yang tengah menghampirinya.
"Ada papi sama mami dibawah, makan siang yuk?" Bujuk Anish. Dia sangat tau Alana sangat malas jika mendengar kata papi dan mami.

"Beritau mereka makan berdua saja. Bukan itu yang mereka mau? Ga ada gue di dalam kehidupan mereka." Jawab Alana malas yang membuat Anish menghela nafas.

"Ayolah Al, sampai kapan sih masalah ini terus berlanjut? Lo pengen minta apa lagi sama Om Hendri dan tante Nichele? Uang? Mereka juga suka transfer di rekening lo dan itu sangat-sangat
cukup —bahkan lebih, mobil? Lo udah punya mobil," ujar Anish.

"Apa uang bisa membeli kebahagiaan?"

Anish terdiam.

"Apa uang bisa membeli segalanya?! Kebahagiaan gue waktu gue kecil APA ITU BISA DIBELI DENGAN UANG?!" Tanya Alana dengan emosi yang memuncak.

"Lo bahkan ga ngerti apa yang gue rasain karna di pikiran lo hanya UANG DAN UANG!" Sambung Alana.

"Pergi," usir Alana dengan suara yang pelan. Anish tidak mengucapkan kata-kata lagi dan meninggalkan Alana yang tengah menangis di dalam kamarnya.

Apa dia masih di butuhkan sekarang?

🥀
H o p e

HopeWhere stories live. Discover now