Kesadaranku baru kembali tepat ketika Kandit buka jendela mobil pengemudi dengan super lebar.

"Mau ke rumah siapa pak?"

"Ke rumah Beno Sentosa"

Aku bisa merasakan intonasi super percaya diri dari suara Kandit. Mungkin dia sengaja supaya nggak dicurigai satpam.

"Ada perlu apa?"

"Bisnis pak," aku menimpali.

Satpam yang usianya mungkin sekitar tiga puluhan tahun itu menatapku lekat-lekat tanpa bicara sepatah kata pun. Duh, aku salah ngomong ya? Batinku.

"Eh...?" ekspresinya mendadak berubah. "Tisa Aulia ya?"

"Iya..." ekspresiku setengah tersenyum setengah bingung.

"Wah saya fansnya Teh Tisa. Oh, Teh Tisa mau ada bisnis sama Pak Beno ya?" intonasinya mendadak sok akrab.

Aku mengangguk.

"Bilang dong Teh Tisa dari tadi," Satpam itu senyum dan langsung masuk ke dalam posnya, beberapa saat kemudian kembali menghampiri mobil Kandit lalu menyodorkan sebuah kartu. "Ini ya kartu pengunjungnya, jangan sampai hilang. Nanti kalau keluar dikasih lagi ya"

"Oke, oh iya pak, rumah Beno disebelah mana ya? Saya baru pertama kali kesini." Aku sengaja bertanya karena melihat respon satpam itu yang sepertinya kelewat percaya padaku. Benar saja, tanpa pikir panjang dia langsung menjelaskan arah dan memberitahu nomor rumahnya.

"Makasih pak," ucapku sambil tersenyum simpul.

Kandit buru-buru injek gas. Mengendarai mobil sesuai arahan satpam. Suasana di perumahannya rindang. Jarak satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh. Jelas saja, ini salah satu perumahan elite yang ada di Bandung.

Beberapa menit kemudian Kandit langsung menepi. Aku bisa liat beberapa meter di depanku ada mobil Alphard sedang berhenti di depan salah satu rumah.

"Itu Cha... nomor 23, rumah Ben!"

Dadaku mendadak sesak hebat. Rasanya mau napas aja susah. Aku sedeket ini sama Ben?

"Terus sekarang gue harus ngapain Dit?" aku bener-bener nggak tau harus ngapain. Pikiranku mendadak buntu. Aku senang Ben nyata. Tapi... masih ada hal yang mengganjal. Dan aku terlalu takut untuk tau kenyataannya.

Langit di Bandung siang ini cukup terik. Tapi, tetep aja nggak sepanas Jakarta. Suara AC mobil terdengar cukup jelas. Gimana nggak? Kandit sengaja nggak puter musik. Sekarang rasanya waktu bergerak lima puluh kali lipat lebih lambat.

Pikiranku sibuk menyusun berbagai rencana yang masuk akal. Pilihan paling mungkin adalah berjalan dengan penuh percaya diri untuk menekan bel rumahnya dan mencari Ben. Sekarang jarakku cuma beberapa meter dari rumahnya. Udah kepalang. Langsung aja. Tapi, itu creepy banget. Nanti Ben menganggap aku stalker. Cuma... kayaknya aku nggak punya pilihan lain. Dia tiba-tiba hilang. Bahkan aku sempet mikir kalau Ben sakit keras terus meninggal. Pikiran itu untungnya muncul cuma sedetik saking frustasi.

Kali ini aku harus tau alasan dibalik sikap egoisnya. Beneran. Aku cuma perlu sebuah alasan. Nggak butuh dia balik lagi kayak dulu. Sama sekali nggak. Kalau pada akhirnya dia memang memilih untuk pergi, aku nggak masalah. Selama aku dapet alasannya. That one reason.

"Cha!" Kandit setengah teriak.

Dengan cepat aku menoleh ke arah Kandit yang ternyata pandangannya fokus ke arah depan. Sedetik kemudian aku berusaha mencari apa yang sedang dilihat Kandit.

Ada satu sosok cowok yang baru aja keluar gerbang rumah Ben. Berdiri di dekat mobil Alphard. Sibuk dengan iPadnya. Aku memicingkan kedua mataku. Berusaha mengenali sosok cowok itu. Siapa tau... Ben! Iya itu Ben!

Distorsi [HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang