"Oh siap a, aa teh mau kirim hampers ya?"

"Iya betul pak. Tapi, saya punya permintaan khusus boleh? Nanti saya bayar lebih. Dua ratus ribu. Bisa pak?"

Kedua mata Pak Ari langsung keliatan berbinar-binar. "Wah, apa a?"

"Cha, mana coba sini foto Ben."

Tanpa pikir panjang aku langsung buka gallery di hp dan buka foto Ben.

"Ini pak foto penerimanya. Beno Santoso. Inget-inget pak mukanya. Saya ngga punya alamat lengkapnya, ngga ada nomor hpnya juga. Tapi, gimana pun caranya hampers ini harus sampe ke dia ya pak. Mungkin nanti bapak bisa tanya ke satpam yang ada di perumahan itu. Saya minta tolong, ya pak?"

Ekspresi Pak Ari mendadak keliatan bingung.

"Punten a, kok si aa ngga punya nomor sama alamat detail?"

"Hahaha iya dia kolega bisnis saya pak, tapi hp saya ganti, jadi nomornya ilang. Saya juga ngga punya alamat detail rumahnya. Padahal saya mau ngucapin terima kasih. Sedih kan pak?"

"Oh pantesan atuh. Yaudah nanti bapak bantu ya"

"Oh iya pak, saya lupa nama panjangnya tuh Beno Santoso atau Beno Sentosa. Nanti bapak tanya satpam aja ya. Dia pengusaha properti. Umurnya 25 tahun. Satpam perumahan pasti tau kok."

"Siap a"

Kandit mengambil kunci yg dari tadi kugenggam. Sambil setengah berlari, ia mengambil hampers yang ada di mobil dan dengan cepat kembali menghampiri Aku dan Pak Ari, "satu lagi pak, nanti kalau udah selesai Pak Ari tolong kesini lagi ya. Nanti saya kasih tipsnya disini pak. Ini penting banget. Tolong ya Pak." Kandit senyum dan langsung memberikan hampersnya ke Pak Ari.

Pak Ari ngangguk dan langsung siap-siap jalan. Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya Pak Ari tancap gas melakukan misinya.

"Lo udah mikirin ide ini berapa lama?" aku melontarkan pertanyaan tepat setelah Kandit dan aku sudah kembali masuk ke mobil dengan posisi AC nyaris maksimal saking panasnya.

"Nggak lama"

"Definisi 'nggak lama' versi lo itu bukan itungan menit, kan? Kalo lo bilang lima menit gue nggak percaya."

Kandit cuma ketawa. Artinya bener, dia udah pikirin rencana ini mateng-mateng. Aku menyandarkan tubuhku ke jok mobil sambil memandangi kendaraan yang lagi lalu lalang di jalan raya. Makin lama makin deg-degan. Duh... Pak Ari akan bawa kabar apa ya.

Setengah jam kemudian Pak Ari kembali. Mataku terbelalak. Hampersnya nggak ada! Itu artinya... Pak Ari berhasil ngasih hampers itu ke Ben, kan?

Tanpa pikir panjang, aku langsung turun dari mobil dan menghampiri Pak Ari. Kandit menyusul dibelakangku.

"Gimana pak?" tanyaku saking penasaran.

"Eh, iya udah teh, tadi saya nggak boleh masuk sama satpam. Katanya cuma boleh nunggu di pos satpam. Yaudah saya tunggu. Terus yang namanya Beno dateng ambil hampers, yaudah saya kasih."

Mendengar cerita Pak Ari, aku langsung buka gallery hp. "Pak, yang ngambil dia kan?" foto Ben terpampang jelas di hpku. Pak Ari mengangguk.

Anggukan kepala dari pria paruh baya dihadapanku membuat bulu kuduku berdiri. Ben nyata!

"Oh, iya a, namanya bukan Beno Santoso, tapi Beno Sentosa." Ucap Pak Ari ke arah Kandit. "Tadi pas saya bilang Beno Santoso, satpam nggak ada yang tau, terus saya bilang aja kalau saya salah sebut, yang bener Beno Sentosa. Baru deh pada kenal."

Pak Ari pinter juga. Masalahnya, penjelasan Pak Ari membuatku sakit kepala.

"Nuhun pak," Kandit memberikan tips ke Pak Ari sesuai janji. Lalu dengan cepat menyuruhku masuk ke mobil. Kandit mendadak langsung tancap gas. Aku nggak tau dia kemana. Mungkin ke Antapani Green Town. Sekarang aku sama sekali nggak bisa fokus. Masih bingung sama pernyataan Pak Ari. Jadi, Ben itu nyata tapi... namanya kok Beno Sentosa? Jangan-jangan Ben bohong ya? Atau aku yang salah inget? Aku tenggelam dalam kolam pikiranku.

Distorsi [HOLD]Where stories live. Discover now