[ONE] GENAY

773 46 30
                                    

24 MEI 2019
8.13 PM

* * *

Terkadang, kita semua tidak tau bagaimana nasib kita di masa depan. Kita hanya bisa merencanakan tanpa tau rencana itu akan berjalan lancar atau malah sia-sia sebelum kita mencobanya.

Seperti sekarang contohnya.

"Saya terima nikahnya Renaya Ficka binti Abdul Rahman Al Kaaris dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai"

Kalimat itu, sama sekali tidak pernah terfikirkan akan Gevan ucapkan untuk sahabat kecilnya sendiri, Renaya.

Ia sama sekali tidak pernah berfikir menikahi dan menjadikan Renaya sebagai istrinya. Tidak sama sekali. Gevan sama sekali tidak menginginkannya.

"Bagaimana para saksi, sah?"

Semua orang yang ada di depan Renaya mengangguk. Mereka mengangguk. "Sah" ujarnya kemudian saling tersenyum menghadap ke arah Renaya dan Gevan.

"Alhamdulillah"  ujar semua orang. Bapak penghulu langsung mengangkat kedua tangan dan berdoa kemudian diikuti oleh semua orang.

Renaya menunduk sembari menyembunyikan air matanya yang telah mengalir deras membasahi pipinya. Sedangkan Gevan, bahunya masih bergetar hebat. Walaupun agama telah menghalalkan mereka sebagai pasangan suami istri, tapi tidak. Baginya, Renaya tidak akan pernah jadi istrinya. Ia benar-benar tidak bisa menerima kenyataan ini.

Karena gadis yang ada di hati Gevan, bukanlah Renaya.

Dan Gevan, telah menolak perjodohan sesaat ini dari hatinya yang terdalam. Kalau bukan permintaan mamanya, tidak akan pernah Gevan menikahi Renaya.

Ruangan yang dipenuhi alat medis itu hening. Hanya terdengar suara isak tangis Renaya sampai seseorang membuyarkan keheningan di dalam ruangan itu.

"Naya, kesini nak"

Renaya berdiri dengan amat pelan. Tenaganya telah habis di hari itu juga. Kemudian dia menghampiri seseorang yang memanggilnya itu. Gendhis. Ibu biologis Gevan Adhirama.

Gendhis menghapus air mata yang membasahi pipi menantunya itu.

"Ikhlas kan, sayang?"

Masih dengan isakan. Renaya mengangguk tanda mengikhlaskan dirinya bahwa sekarang dia adalah istri dari sahabat kecilnya sendiri.

"Mama mau kalian sama-sama berjuang untuk masa depan kalian. Itu permintaan mama yang terakhir untuk kalian berdua"

Gevan sontak berdiri dan menghampiri orang yang paling dia sayang di hidupnya itu. Dia memeluk ibunya erat. Sangat erat.

"Gevan mohon Ma. Jangan bilang kayak gitu. Mama ga akan kemana-mana. Mama bakal tetep disini, sama Gevan." Isak Gevan.

Kaget. Baru kali ini Renaya melihat sahabatnya itu menangis. Selama yang dia tau, Gevan itu dikenal sebagai anak yang ceplas ceplos. Periang. Aktif. Banyak ngomong. Tapi lihat sekarang, ruangan itu dipenuhi oleh isakan Gevan.

"Gendhis, kita semua masih perlu kamu disini" sambung Galuh dengan segenap tenaga yang dia punya. Galuh. Ibu Renaya sama sekali tidak pernah berfikir kalau Gendhis, akan mengalami hal seperti ini.

Gevan masih memeluk ibunya itu dengan erat. Dia sama sekali tidak berani menatap atau melirik wajah dari ibunya. Dia tidak tega melihat wajah cantik ibunya itu menjadi sesuatu yang tidak bisa Gevan jelaskan.

Kejadian dua hari lalu, disaat Gendhis akan terbang ke Bengkulu karena urusan cabang perusahaan papa Gevan. Tiket pesawat. Uang. Perlengkapan dan semacamnya sudah disiapkan. Hanya tinggal pemberangkatan dari bandara Jogja ke Bengkulu.

Gendhis berangkat menuju bandara dengan perasaan yang aneh. Selalu ada hal-hal yang mengganggu fikirannya. Salah satunya, dia selalu mengingat bagaimana Gevan kecil berubah menjadi Gevan yang dewasa seperti sekarang. Bukannya merespon pikirannya sendiri, Gendhis tetap melanjutkan perjalanannya.

Tanpa ditemani Gevan. Karena saat itu, Gevan masih berada di sekolahnya. Begitupun Renaya.

Sebuah truk kontainer menghantam mobil Gendhis tanpa aba-aba. Mobil Gendhis terlontar jauh dari jalan raya. Pergerakan  mobilnya berhenti saat telah menghantam jembatan perbatasan.

Tidak ada yang bisa mendiskripsikan bagaimana keadaan mobil itu. Termasuk keadaan Gendhis. Mobil itu hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Pecahan kaca dari setiap sisi meloncat ke arah wajah mulus Gendhis. Penuh luka di setiap inci wajahnya. Sama seperti mobilnya, wajahnya yang indah itupun sekarang menjadi tidak berbentuk.

Sampai orang-orang yang menyayanginya pun tidak berani menatap atau meliriknya. Galuh, Renaya bahkan anaknya sendiri, Gevan tidak tega melihat wajah Gendhis.

Gendhis koma. Tentu saja. Genap dua hari dia berbaring di kamar rumah sakit. Bukan hanya berbaring, dia pun memejamkan matanya selama dua hari penuh. Gendhis baru tersadar dari komanya dan langsung meminta pernikahan. Pernikahan antara anak semata wayangnya dengan Renaya.

Dengan secepat mungkin wajah Renaya diubah menjadi pengantin dengan riasan yang begitu sederhana. Gendhis mau pernikahan ini terjadi hari ini juga sebelum semuanya terlambat. Galuh, Gendhis, Bapak penghulu, beberapa Suster dan satu dokter yang merawat Gendhis menjadi saksi pernikahan sederhana itu terjadi.

Pernikahan sederhana tanpa banyak dana. Ijab khobul tanpa resepsi. Bahkan make up pengantin yang samar-samar. Itu hanya terjadi di hidup Gevan.

"Luh, kamu punya tanggung jawab lain selain Naya. Anak aku, Gevan. Sekarang Gevan anak kamu juga. Tolong jaga Gevan. Aku tau Gevan udah gede sekarang, tapi aku mau kamu tetap mendidik Gevan supaya jadi laki-laki yang bertanggung-jawab." Lirih Gendhis.

Galuh diam. Dia sama sekali tidak mau mendengar kalimat itu dari mulut sahabatnya itu. Kalimat itu mengartikan seakan Gendhis akan pergi meninggalkan dunia. Galuh tidak bisa membayangkannya.

"Mama apaan sih. Mau lihat Gevan hidup tanpa arah? Ma, papa baru aja seminggu ninggalin kita. Ninggalin Gevan. Sekarang Mama mau ninggalin Gevan?" tanya Gevan. Tingkat emosional Gevan menaik drastis semenjak ibunya itu mengatakan hal yang tidak-tidak.

"Mama harus pergi sayang. Mama harus ketemu sama papa kamu. Mama kangen sama papa kamu" balas Gendhis.

Gevan menggeleng cepat. "Ga boleh. Apaan sih Ma? Ga usah ngomongin ini lagi. Mama bakal sembuh. Mama harus sembuh. Gevan bakal tetep ada disini sampai Mama sembuh, Gevan janji"

Gendhis menatap Galuh dengan samar. Dia melihat sahabatnya itu menangis dibalik badan Gevan. "Luh, ga usah nangis." Kemudian Galuh menggeleng dan menghapus air matanya. "Kamu jangan ngomong aneh-aneh makanya!" sahut Galuh.

"Makasih ya Luh. Kamu mau ngijinin Renaya nikah sama Gevan. Kebahagiaanku dari dulu itu pengen liat Renaya sama Gevan sama-sama terus" ujar Gendhis.

Galuh mengangguk. "Ga perlu bilang makasih. Aku juga mau liat mereka berdua sama-sama terus. Kamu sama aku udah liat sekarang mereka adalah sepasang suami istri. Karena itu, kamu harus sembuh dan liat gimana mereka jadi orang tua secepatnya. Ga perlu ngomong aneh-aneh lagi"

Gevan masih setia memeluk ibunya dan Renaya diam mendengarkan. Sedari tadi, air mata Renaya sama sekali belum berhenti. Dia masih berfikir, bagaimana dia bisa mengatakan semuanya ke Ardian pasal perjodohan sesaatnya dengan Gevan.

Gevan melepas pelukannya kemudian beralih ke hpnya karena ada seseorang yang mengirimi pesan.

Adhisa
Temenin aku yuk, kamu udah janji loh!!

Gevan
Ke Rumah Sakit Kasih Ibu sekarang, aku butuh kamu.

Persetan sama status Gevan yang telah beristri. Yang dia mau, kekasihnya, Adhisa datang kesini untuk menyemangatinya. Gevan benar-benar membutuhkan Adhisa di situasi seperti ini.

Gendhis tersenyum dengan senyuman manisnya. "Aku cuma mau tidur kok. Besok kita pasti ketemu lagi" ucapnya kemudian kedua matanya yang luka itu menutup secara perlahan.

imchang96_

HULU || IM Changkyun (END)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu