Benang yang Terlanjur Kusut

Start from the beginning
                                    

***

Setelah momen debat antara aku, ayah, dan ibu, hari demi hari berlalu tanpa ada tanda kalau suasananya akan jadi lebih baik.

Setelah dipikir-pikir, hal ini cukup bahaya. Nggak sehat. Gini, aku bukan cewek yang pandai menentukan prioritas. Itu juga salah satu alasanku untuk hire Mas Gani sebagai manager.

Ketika ada satu hal yang sangat aku suka, maka akan terjadi distorsi. Aku bukan lagi Tisa Aulia yang realistis. Prioritas yang ada pun akan berubah. Bukan lagi menomorsatukan hal yang harus kulakukan, melainkan akan menomorsatukan hal yang membuatku senang. Nah, itu dia. Cowok itu yang membuatku senang. Ben. Makanya pikiranku nggak bisa lepas dari Ben. Seperti orang yang kecanduan.

Perasaanku semakin bergejolak. Merasa nggak pantes dapet perlakuan kayak gini. Kalau mau dibilang sibuk, semua manusia di bumi pasti sibuk. Siapa pun itu. Aku juga. Tapi, kan ada yang namanya skala prioritas. Dan sejak aku tau Ben punya perasaan yang sama kayak aku, prioritasku berubah. Ben masuk ke A-list aku. Artinya sesibuk apapun itu, dia salah satu yang akan selalu aku dahulukan. Cuma dengan sikapnya yang seperti itu, aku cukup yakin kalau aku bukan prioritas Ben.

Kalau aku jadi dia, pasti aku akan ngasih tau kalau aku lagi banyak kegiatan. Misalnya, "Cha, besok aku meeting dulu ya dari jam 7 pagi sampe jam 9 malem." Kalau kayak gitu kan clear. Aku ngga perlu nunggu-nunggu. Tapi, Ben ngga gitu.

Waktu awal kenal, aku memprediksi kalau Ben dan aku bisa ketemu di dunia nyata maksimal 2 bulan setelah kenal. Tapi, nyatanya ngga. Padahal sekarang sudah 3 bulan sejak pertama kali aku kenal sama Ben. Waktu 3 bulan bagi sebagian orang mungkin cuma geli-geli doang. Paham. Tapi, coba jadi aku. Cewek bosenan yang biasanya perasaan sukanya ke cowok cuma bertahan satu bulan.

Jadi inget kalimatnya Emma Watson, 'The less you reveal, the more people can wonder'. Hal itu berlaku untuk Ben. Aku ngga bisa kepo apapun tentang dia. Satu-satunya yang bisa aku pegang cuma omongannya. Dan semakin aku nggak ketemu Ben, justru semakin penasaran. Semakin lama Ben bales chat, justru aku malah semakin nunggu. Sekarang, kayaknya aku harus berhenti. Dia merusak fokusku.

Semenjak menyadari kebodohanku sendiri, aku jadi cewek yang selalu negative thinking terkait Ben. Bahkan ngga jarang aku menyalahkan diriku sendiri karena tertarik pada Ben. Sejak hari itu juga, aku punya ritual baru tiap malem. Yup, nangis. Kalau malem pasti mataku berair, persis kayak orang sakit mata. Kalau pagi, mataku bengkak. Persis kayak orang sakit sindrom nefrotik. Terpaksa deh setiap ke puskesmas pake kaca mata. Dan seperti biasa, cuma Kandit yang tau alasan dibalik kacamata yang sekarang ngga pernah lepas dari wajahku.

Selain itu, biasanya hari sabtu aku sambut dengan berbagai kegiatan produktif di luar rumah. Iya, karena memang aku suka melakukan banyak hal supaya ngga wasting time. Tapi, kali ini rasanya nelangsa. Walaupun langit sudah terang, aku memilih untuk tetap di kasur dan menarik selimut. Enggan melakukan apapun. Ngga bisa boong. Sumber energi-ku itu Ben. Namanya juga orang jatuh cinta. Kalau dia ngga ada, rasanya badanku berat. Ngga bisa ngapa-ngapain. Maunya cuma guling-guling dikasur. Jangan tanya apakah aku produktif akhir-akhir ini, karena jawabannya pasti, 'ngga'. Aku benci sama diriku sendiri karena jadi kelewat lemah.

Seiring berjalannya waktu, semakin sering aku kepikiran hal negatif. Apa aku lagi dibodoh-bodohi ya? Aku memilih percaya, padahal harusnya ngga. Aku memilih setia, padahal dia disana ngga. Aku memilih berkomitmen, padahal dia pun ngga pernah menganggapku serius. Apa harusnya aku berhenti?

***

Pada akhirnya aku berpikir untuk menyerah. Ngga kuat sama pikiran negatif yang memenuhi isi kepalaku. Cuma satu hal yang bisa aku lakukan untuk menghentikan ini semua. Jujur sama Ben.

Distorsi [HOLD]Where stories live. Discover now