Benang yang Terlanjur Kusut

Start from the beginning
                                    

Mendadak, ayahku secara halus menyodorkan banyak nama, supaya aku mengalihkan perhatianku dari Ben. Mulai dari Reno, residen tingkat akhir dan dalam hitungan bulan resmi jadi dokter spesialis penyakit dalam. Dia udah cukup lama berusaha ngedeketin aku, tapi ngga pernah berhasil. Terus, Hendra, cowok yang selalu rela nemenin ibuku shoping demi mendapatkan restu buat deketin anaknya. Bahkan, nama Kandit pun ngga lupa disebut-sebut. Pokoknya hampir semua cowo yang potensial, disebut sama ayah. Kalau udah ngomongin hati itu berat. Sering kali ngga bisa diajak kompromi. Masalahnya, kalau hati sudah tertuju ke satu orang, dunia bisa apa?

***

Semakin hari, semakin sering terjadi konflik batin di dalam diriku. Ben memang selalu ada tiap hari, tapi sering kali chat-nya bisa dihitung pake jari. Dan udah ngga pernah Line calls. Intinya, udah nggak kayak dulu. Mungkin karena sekarang handle project ayahnya juga. Miris rasanya melihat diriku sendiri sering nelangsa karena menanti chat yang ngga tau kapan dibalesnya.

Aku ngga bisa kayak gini. Dia bener-bener bikin frustasi. Orangtuaku menentang dan disaat aku ingin berjuang, Ben malah seperti ini. Rasanya aku sedang berjuang sendiri. Kalau kayak gini, pilihan menyerah lebih menggiurkan.

"I want to be with you, it is as simple and as complicated as that. – Charles Bukowski," aku mengirim kutipan ini ke Ben. "Paham ngga maksud aku?"

Butuh waktu tujuh jam untuk Ben bales Line. "Icha... Iya aku paham kok."

Padahal ini hari minggu. Tapi, tetep butuh waktu yang super lama cuma untuk sekedar bales chat. Harusnya aku udah biasa. Tapi, suasana hatiku membuat logikaku makin tumpul. Isi chat dari Ben pun cuma bisa membuatku menghela napas. Pasti Ben pikir, maksud quotes-nya adalah aku mau ketemu dia, tapi ngga bisa karena dia lagi sibuk. Padahal maksudnya berbeda.

Aku ngga mau melepas Ben, sekalipun aku merasa sedang berjuang sendirian. Aku yakin, siapapun ngga akan rela melepas seseorang yang dia suka. Apalagi kalau tau menemukan the one butuh waktu yang sangat lama dan perjalanannya ngga mudah. Karena untukku, butuh waktu nyaris 24 tahun sebelum akhirnya kenal orang kayak Ben. Walaupun belum tau wujud aslinya, tapi rasanya udah kenal lama banget sama dia. Jadi, jangan tanya aku kenapa aku sangat ingin bertahan.

Aku menolak untuk jujur terkait kejadian ini, karena Ben pasti terlalu sibuk untuk mengerti keadaan hatiku. Jadi, lebih baik kusimpan sendiri.

"Ben, boleh minta nomor kamu yang ada whatsapp-nya? Line-ku kayaknya mulai eror lagi nih, takut kayak kemarin." Mendadak aku inget kalau belum minta nomor Ben waktu itu. Padahal salah satu tujuanku menghilang kemarin karena mau dapetin nomor hp Ben. Jadi, aku kembali pura-pura kalau aplikasi Line-ku eror dan dengan percaya diri minta nomor Ben supaya tetep bisa kontak dia.

Ben baru bales dengan jeda cukup lama. Bahkan aku sempet nongkrong dulu di caffe sama Faldo beberapa jam dan akhirnya pulang ke rumah. Udah ngga aneh kalau Ben balesnya kayak jaman dulu, surat-menyurat yang harus dikirim via pos. "Boleh dong Cha! Eh, tapi jangan whatsapp. Takutnya chat kamu tenggelam. Chat yang masuk via wa banyak banget soalnya. Aku ngga lebay, tapi itu fakta. Dan setiap hari biasanya aku clear chat, Cha."

Pertama kali yang ada di kepalaku waktu baca chat Ben adalah... does that makes any sense? Emangnya ada orang yang kayak gitu ya? Tau sih Ben sibuk. Masuk akal kalau yang coba hubungin dia banyak. Part yang aneh adalah.... kenapa tiap hari dia clear chat sih? Ben, kalau ngga mau ngasih nomor kamu ke aku, ngga perlu pake alesan yang ngga masuk akal kayak gitu. Langsung bilang aja to the point. Aku bukan cewek kolot yang bakal marah kalau kamu nolak ngasih nomor kamu kok. Itu hak asasi kamu. Kalimat itu harusnya aku lontarkan langsung pada Ben. Tapi, aku terlanjur males.

Distorsi [HOLD]Where stories live. Discover now