27 | Dua Bayangan di Cermin

143K 17.6K 3.6K
                                    

Entah dunia sedang menghukumnya, atau hari itu memang hari terburuknya. Tak cukup kecemasannya terhadap kondisi mama dan masalahnya dengan Rangga di bioskop tadi, Iris harus menghadapi kemarahan lainnya setibanya ia di rumah.

"Jelasin ke gue ini apa?" suara Ares terdengar dingin di telinga Iris. Mata cowok itu menatapnya tajam, menuntut penjelasan.

Iris mematung di ambang pintu kamarnya, menatap botol pil penurun berat badan yang selama ini ia sembunyikan kini berada di tangan Ares. "Res—"

"Jelasin ke gue Iris, ini apaan?!" sentak Ares keras membuat Iris langsung terkesiap. Plastik belanjaan yang tadi ada di tangannya jatuh ke lantai, memuntahkan alat make up yang baru Iris beli.

Ares menatap barang-barang itu, lantas memandang Iris dengan sorot yang sulit cewek itu artikan.

"Nggak cukup ngerusak lambung lo, sekarang lo mau ngerusak ginjal lo juga? Iya?!" Ares mengeraskan rahangnya, tapi Iris masih bergeming di tempatnya. Pikirannya terlalu kacau untuk mencari sebuah alasan. "Buat apa, sih, Ris ini semua? Demi apa? Biar apa lo begini?! Biar lo bisa kayak cewek-cewek kebanyakan?! Biar lo bisa jadi model?! Biar lo bisa saingan sama cewek-cewek yang naksir Rangga? Iya?!"

"Res ..."

"Bodoh!" Ares berteriak keras. Ia melemoar botol tersebut sehingga isinya berceceran di atas lantai. "Lo tuh sebenarnya nganggep gue sama papa itu apa sih, Ris?! Lo ngelakuin semuanya buat cowok lo! Lo ngelakuin cuma karena lo takut Rangga cabut dari lo! Iya, kan?! Pernah nggak lo mikirin gimana perasaan papa sama gue waktu ngelihat lo sakit kemarin?! Pernah lo mikirin gimana gue dan papa berusaha keras ngejaga lo biar lo tetap sehat! Pernah lo mikir gimana gue harus nahan diri buat nonjok itu cowok karena bikin lo jadi orang udah nggak bisa gue kenalin?! Modeling, diet, dan sekarang apa? Lo ngerusak badan lo sendiri sama obat-obatan kayak gini?! Lo menyedihkan, Ris!"

Napas Ares tersengal. Ia belum pernah semarah ini pada saudara kembarnya. Lebih daripada saat ia menemukan Iris dikucilkan beberapa bulan lalu, apa yang ia temukan hari ini jauh lebih menyakiti hatinya. Pil-pil obat diet tanpa nomor bpom ini seolah membakar habis seluruh perjuangannya untuk menjaga cewek itu.

Iris merasa dadanya mencelos saat mendengar kalimat Ares. Dalam benaknya kini terputar serangkaian peristiwa yang membawanya sampai sejauh ini.

Perbandingan-perbandingan yang om dan tantenya lakukan semasa ia dan Ares kecil. Sorot meremehkan dari teman-temannya. Kata-kata Tasya yang selalu berhasil menjatuhkannya. Cemoohan-cemoohan yang tak pernah segan orang-orang layangkan untuknya.

Iris jelek.

Iris bodoh.

Iris tak punya kelebihan.

Iris menyedihkan.

Tubuhnya gemetar, saat sadar bahwa Ares—orang yang ia paling percayai di dunia—kini menilainya sama, seperti cara dunia memandangnya.

Iris berjongkok, lantas memunguti satu-persatu pil-pil obatnya. Ia tak menangis, tapi wajahnya sudah pias.

"Jangan dibuang, Res," katanya dengan suara parau. "Gue nggak pernah jajan di sekolah, biar bisa beli ini sama alat make up. Gue juga harus minum obat ini, karena kalau lari doang, sampai gue pingsan gue juga nggak akan bisa sekurus Kinan."

"Ris ..."

"Ah, ya, lo benar juga, gue memang bodoh, kan dari dulu lo tahu, gue memang nggak sepinter lo. Setiap malam gue belajar sampai pagi, tapi ternyata nilai gue juga nggak bisa jadi bagus kayak nilai lo." Iris tertawa hambar, ia menyeka sudut matanya yang mulai berair. "Iya bener juga ya, gue menyedihkan ya, Res? Malu kan lo punya kembaran semenyedihkan gue?"

Iris [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang