24 | Jalan Pintas

146K 15.4K 1.2K
                                    

"Dea! Bisa kerja nggak sih lo sebenarnya?!" teriakan Tasya terdengar di sepenjuru ruangan ekskul modeling. Semua kepala yang ada di ruangan tersebut menunduk dalam-dalam.

Hari ini Tasya kembali memantau keadaan ekskul modeling, setelah nyaris dua bulan ia menyerahkan jabatannya sebagai ketua ekskul modeling pada Dea—satu-satunya anak kelas sebelas di ekskul modeling, yang menurutnya memiliki cukup pengaruh. Namun sayang, Dea tidak seberpengaruh itu.

Gaya kepemimpinan Dea dan Tasya sangatlah berbanding terbalik. Di bawah bendera kekuasaaannya Dea tak pernah menekan anggota ekskul modeling seperti yang kerap Tasya lakukan. Tapi beginilah akibatnya, kelonggaran yang Dea berikan membuat teman-temannya ikut lengah. Mulai dari jadwal latihan yang kendor, kekacauan Dea serta jajarannya dalam mengurus beberapa urusan internal, hingga beberapa anggota yang tampak mengalami kemunduran.

Dan parahnya, Iris termasuk dalam kategori masalah terakhir.

Berkat sakitnya kemarin, Iris gagal mengontrol berat badannya. Tubuhnya harus berkali-kali terhuyung ketika ia belajar berjalan dengan high heels. Belum lagi ekspresinya yang menyedihkan dan kebiasaannya jalan menunduk yang memperburuk segala penilaiannya. Ia adalah definisi sempurna dari kekacauan di ekskul modeling.

"Gila, lo pada ngapain aja, sih?!" Tasya membali menjerit kesal ketika melihat angka di timbangan Iris. Ia melotot marah ke arah Dea, lalu menuding Iris dengan kukunya yang dicat cantik. "Ini anak lost control lagi! Terakhir gue tinggal, dia udah turun lima kilo, dan sekarang belum ada dua bulan, bukannya turun malah nambah? Bener-bener nggak bisa tegas lo ya?!"

Tasya menumpahkan seluruh kekesalannya pada Dea. Kali ini mereka—termasuk Iris—tak bisa berkutik. Semua amukan Tasya memiliki alasan.

"Lo juga!" kini amukan Tasya beralih pada Iris. "Sampai kapan, sih, keras kepala mau jadi kuman di sini?!"

Tasya sebenarnya sudah tidak terlalu berhasrat untuk membully Iris. Kehadiran Kinan di sekolah ini, pada saat pekan kemerdekaan membuat perasaannya pada Rangga sedikit memudar. Ia mulai lelah, mengejar sesuatu yang terlalu sulit ia raih. Tasya mungkin bisa menekan Iris, tapi Kinan?

Tasya tak punya kuasa apapun untuk mengenyahkannya.

Iris menundukan kepalanya dalam-dalam. Menyembunyikan diri dari wajah-wajah yang menatapnya kasihan. Sissy yang berdiri tepat di sampingnya bahkan memberanikan diri mengusap punggung tangan Iris secara tidak ketara.

"Sekarang, gue nggak mau tahu, elo, elo, elo, dan elo." Tasya menunjuk Iris dan tiga anak paling bermasalah. "Latihan kalian akan ditambah, langsung dibawah pengawasan gue dan Karen! Dan khusus untuk lo, Ris," Tasya maju satu langkah, menebas jarak yang tersisa antara dirinya dengan Iris. "Setiap kali gue lihat lo jalan nunduk, lo harus menggantinya dengan lari satu putaran. Ngerti?!"

"Ngerti, kak!" seru mereka semua kompak. Setelahnya mereka langsung membubarkan diri, bergabung di sisi lainnya untuk mengikuti kelas kepribadian.

°°°

Iris menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Cewek itu meringis, ketika merasakan punggungnya yang pegal beradu dengan pegas kasur. Setelah sekian lama rehat dari kegiatan yang menguras tenaga, hari ini Iris harus kembali memaksakan kakinya untuk berlari. Bukan di lapangan, cewek itu memutari putaran GOR dekat rumahnya sampai enam putaran. Ia terkekeh geli menyadari sesuatu. Berbulan-bulan bertahan di ekskul modeling, kemampuannya yang berkembang pesat justru adalah kemampuan berlarinya.

Mungkin dibanding jadi model, menjadi Iris lebih cocok jadi atlit pelari.

Iris meraih ponselnya, lalu menghembuskan napas kecewa saat tak mendapati satupun pesan dari Rangga. Terakhir Rangga menghubunginya hari ini adalah siang tadi, mengabarkan pada Iris bahwa—untuk kesekian kalinya—Rangga tak bisa mengantar Iris pulang, karena harus menjemput Kinan.

Iris [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang