HARI KE 77 DI GURUN PASIR

761 202 174
                                    




Hari ini adalah hari ke 77 atau selama 1800 jam Senad terpanggang sinar matahari dan didekap dinginnya angin malam. Ini adalah menjadi penantian terpanjang dalam sejarah perjalanannya hanya sekedar untuk beroleh visa dari kedubes Arab Saudi agar dia bisa menunaikan ibadah haji. Kondisi cuaca panas yang ekstrim ketika siang dan udara dingin yang menerjang di setiap malam dalam keadaan sakit membuat kesehatan Senad kian hari kian menurun. Dalam kondisi lemas lunglai, tiada seorang pun yang membantunya agar bisa pulih dari kondisi sakitnya itu.

Dalam kondisi menggigil karena sakit itu, tiada henti Senad berdoa kepada Allah agar ia secepatnya diperbolehkan untuk melewati perbatasan dengan ransel berisi Quran, peta, dan bendera Bosnia yang ia bawa kemana-mana itu. Ia hanya ingin menunaikan ibadah haji dan menyembah Allah, Tuhan yang sangat dicintainya untuk kebahagiaan, cinta, dan kehidupan yang indah bagi seluruh umat manusia di seluruh dunia. Ia ingin berdoa kepada Allah agar mengampuni dosa umat muslim di Mekah, di tempat peribadahan pertama yang dibuat di atas bumi (Ka'bah hitam yang indah) dan di dalam masjid Nabi yang indah di Madinah.

Sebelum jatuh sakit, terbayang di benak Senad betapa sulitnya birokrasi pengurusan visa memasuki Arab Saudi, ia sudah tiga kali berusaha untuk mendapatkan visa dari kedubes Arab Saudi di Amman, Yordania. Sedangkan jarak antara perbatasan Arab Saudi dengan Amman, ibu kota Yordania itu sekira 400 KM. Sebuah perjalanan melelahkan di tengah perjalanan panjang yang maha meletihkan itu.

Senad mengepal-ngepalkan tangannya dan menutupi telapak kakinya dengan kaos kaki untuk mengurangi rasa dingin yang makin merajai. Diurut-urutnya keningnya yang terasa makin pusing. Segala rasa capek, letih, dan sakit yang dideritanya tidak lepas dari penantian panjangnya untuk beroleh visa.

Badan Senad terbaring lemas, sesekali batuk masih mengguncang-guncang tubuhnya. Dalam rasa sakit yang dideritanya, tiba-tiba bayang wajah Mevla, ibunya melintas. Ibu yang senantiasa mengajarkan nilai-nilai akhlak dan kemuliaan kepada anak-anaknya. Ibu yang mengajarkan kepadanya bahwa siapa pun yang datang di depan pintu rumah kita tidak boleh kita biarkan pergi dengan perut kosong (lapar). Jika tidak ada uang, paling tidak berilah pengemis itu jeruk, atau jeruk nipis. Kenangnya pilu.

Senad berpikir bahwa selama peperangan yang berlangsung di dunia, di tempat penampungan mana pun para pengungsi bahkan para tahanan perang itu dikasih makan. Sedangkan ia yang merasa dirinya musafir dan tamu Allah ditelantarkan begitu saja. Ia bertanya-tanya ibu macam apakah yang melahirkan duta besar Arab Saudi di Yordania? Ibu macam apa yang melahirkan dubes Bosnia di Riyadh. Ramiz Colic? Soalnya kepada diri sendiri. Senad telah memberitahu Ramic Colic bahwa dia sudah berada di perbatasan Arab Saudi dan tidak bisa memasuki Arab Saudi karena masalah administrasi.

Dia pun mengirimkan segala berkas pribadinya ke Ramiz Colic juga no kontak pribadinya, berharap dia bisa membantu menyelesaikan masalah Senad. Senad membayar fax sampai $10 untuk mengirimkan fax dan berhari-hari tidak makan karenanya. Namun selama hampir 3 bulan Senad berada di perbatasan, tidak pernah dia menelphone sama sekali sekedar untuk menanyakan apakah Senad masih hidup atau sudah mati?

Tidak ada yang menjawab pertanyaan-pertanyaan Senad selain kesedihan yang makin merajai hatinya yang kini sudah diwakili dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Ia seakan tenggelam dengan berbagai permasalahan yang mendera dan tertidur dengan pelupuk mata menghangat.***

Saudaraku terkasih, Jangan lupa untuk selalu support dan doakan Senad. Berikan dukungan dan komentar terbaik Anda untuk perjalanan penuh keberkahan ini, inshallah. Happy reading dan happy week end all.

5700 KM Menuju SurgaWhere stories live. Discover now