AKU TIDAK AKAN MENYERAH BIAR PUN AKU MATI DI PERBATASAN ARAB SAUDI

663 210 188
                                    



Malam itu petala langit begitu cerah dihiasi butiran-butiran bintang yang terlihat berserekan. Angin berhembus begitu lembut tatkala suara adzan maghrib berkumandang bertalu-talu. Semesta menutup siang untuk kemudian dipeluk oleh kegelapan malam.

Senad menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdoa kepada Allah SWT sebelum melakukan buka puasa terakhir selama dia berasa di perbatasan Arab Saudi. Diteguknya segelas air putih, yang selama ini menjadi menu sahur dan bukanya setiap hari. Begitu air itu mengaliri kerongkongannya dia merasakan seluruh tubuhnya merasakan titisan air yang mengaliri itu. Segar sekali rasanya.

Dari kejauhan sana, sayup-sayup suara takbir berkumandang begitu lembut seakan memenuhi petala langit dengan kesyahduannya. Namun entah kenapa setiap lengkingan suara takbir yang menggema itu meninggalkan kesedihan yang begitu menyayat di hati Senad. Berlebaran seorang diri, tanpa ada makanan yang bisa dinikmati, kue yang bisa dikunyah, bahkan tanpa segelas air teh sekali pun yang bisa ia teguk. Ia berusaha untuk menerima dengan ikhlas berleberan sendirian di tengah gurun pasir yang tandus dengan hanya berteman desir suara angin malam.

Ia terpekur sendiri sambil mulutnya bergerak-gerak mengikuti sayup-sayup suara takbir yang terdengar dari mikrofon-mikrofon masjid. Hatinya meluruh dibaluti kerinduan dan kesedihan,

"Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, La â ilâha illallôhu wallôhu akbar!allôhu akbar wa lillâhil hamd," gumannya pelan. Bibirnya bergetar ketika wajah orang-orang yang dicintainya berkelebatan di pelupuk mata. Tiba-tiba ia teringat perayaan Idul Fitri bersama ayahnya Mevda, ketika ia masih kecil dahulu. Ayahnya senantiasa mengajaknya ke masjid di malam Idul Fitri untuk sama-sama mengumandangkan takbir sesudah ia dipakaikan pakaian-pakaian indah oleh sang ayah. Senad kecil waktu itu begitu antusias, bersama anak-anak kecil lainnya dia berbaur di masjid itu bertakbir dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan.

Usai mengumandangkan takbir bersama teman-temannya, ia pulang bersama ayahnya untuk kemudian disambut dengan pelukan dan ciuman oleh ibunya tercinta, Mevla sambil mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri kepadanya. Kenangan itu begitu melekat di relung hatinya. Indah. Indah sekali gumannya di dalam hati.

Kelebat wajah isterinya dan anak-anaknya makin membuat hati Senad rintik. Matanya mulai menghangat. Makin lama suara takbir itu berkumandang makin kuat kerinduannya kepada isteri dan anak-anaknya. Andai ia di rumah, tentu ia sedang mengumandangkan takbir bersama anak-anaknya di masjid yang tak begitu jauh darinya. Membagi-bagikan zakat fitrah dan berkumpul bersama keluarga tercinta. Senad tak kuasa membendung kerinduannya kepada anak dan isterinya, tiba-tiba air matanya meleleh ditingkahi suara isak memilukan bagi yang mendengarnya. Senad pun menangis sesenggukan di tengah kesepian, kondisi tidak menentu, rasa lapar, dan kondisi mengenaskan seumpama seorang tuna wisma.

Dalam ratapan tangisnya itu Senad berdoa kepada Allah," Ya Allah aku tidak akan menyerah dengan kondisi ini biar pun aku harus mati di perbatasan Arab Saudi sampai aku bisa mendapatkan visa haji dari pemerintah Arab Saudi." Ucapnya pelan.

Buliran-buliran air mata makin deras menetesi wajahnya ketika ia merasa semua orang diam dan tak ada satu pun yang menanyakan apakah dia lelah? Apakah Senad haus? Di tengah keikhlasannya ia begitu sedih karena kedubes Bosnia di Arab Saudi pun ia nilai seakan tidak perduli dengan keberadaaan dirinya. Dia membeli bendera Bosnia dengan memakai uang yang seharusnya ia pakai untuk membeli makanan. Tapi kedubes Bosnia yang ada di Arab Saudi, sama sekali tidak berusaha membantu menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya.

Sambil menangis bibir manusia mulia itu terus mengumandangkan takbir dengan mulut bergetar, " Allôhu akbar kabîro, wal hamdu lillâhi katsîro,
wa subhânallôhi bukrotaw wa ashîla
." Engkau Maha Besar ya Allah, segala puji bagimu baik di kala pagi mau pun di siang hari. Hatinya begitu miris, isak tangisnya makin kuat dan derai air mata makin deras membasahi pipinya, Senad berpikir Arab Saudi terlalu tega memperlakukannya seperti ini, menunggu tanpa ada kejelasan sedangkan Senad dalam keadaan berpuasa di tengah gurun pasir yang terik. Dan selama itu Arab Saudi tak pernah memberikan Senad walau segelas air pun untuk diminumnya.

Senand terus bertakbir dengan air mata berbulir-bulir yang membasahi pipinya; sorban dan tangannya kini telah basah dengan air mata keikhlasan, ketulusan, kepasrahan, kesedihan dan kecintaan kepadaNya. Semua bercampur aduk menjadi satu ; Lâ ilâha illallôhu wala na'budu illa iyyâh(u) mukhlishîna lahud dîn, walaw karihal kâfirûn! Tiada Tuhan selain Allah dan tiada yang kami sembah kecuali Allah, dengan ikhlas kami beragama kepadanya,walaupun dibenci orang-orang kafir.

Hari sudah larut malam. Udara dingin gurun pasir diiringi bunyi desiran suara angin terus menyergap tenda kecil di mana suara senandung takbir terus menggema dari mulut laki-laki saleh berhati putih bersih itu. Air matanya terus mengalir deras sambil mulutnya tiada henti memuji Allah Swt dengan takbir dan tahmid. Senand ingin sekali memenuhi Idul Fitrinya dengan bersyukur kepada Allah sebagaimana perintahNya, "Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (bulan Ramadhan) dan hendaklah kamu bertakbir (membesarkan) Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah : 185).

Ia ingin menghidupkan malam Idul Fitri ini, walau seorang diri, ia ingin mewarisi pahala dari Allah yang berjanji kepada umatnya barangsiapa yang menghidupkan malam Idul Fitri dan Idul Adha dengan sungguh-sungguh, maka hatinya tidak akan mati di hari di mana hati manusia menjadi mati.

Semakin larut mulut laki-laki saleh itu makin lemah mengumandangkan takbir, suaranya perlahan-lahan hilang karena sapuan udara dingin yang menerjang tendanya. Tangannya masih tetap menengadah ke langit sambil terus bertakbir kepada Allah, Senad terus membiarkan matanya menghangat, ia tidak mengusap air mata yang berlinang di pipinya, sehingga ia menganak sungai, bergumul di dagu kemudian jatuh membasahi sorban dan pangkuannya.

"Lâ ilâha illallôhu wahdah, shodaqo wa'dah, wa nashoro 'abdah, wa a'azza jundahu wa hazamal ahzâba wahdah!" Tiada tuhan selain Allah, satu-satunya (Tuhan), Dia memenuhi janjiNya, Dia menolong hambaNya, Dia mengokohkan tentara-Nya dan menghancurkan pasukan sekutu sendirian.

"Lâ ilâha illallôhu wallôhu akbar! allôhu akbar wa lillâhil hamd." Tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar! Allah Maha Besar dan milikNyalah segala puji." "Ya Allah, ampunilah dosa-dosa ayah dan ibuku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku ketika aku kecil, ya Robbie! Ampunilah dosa-dosa istriku, anak-anakku dan semua keluargaku juga umat Islam seluruhnya. Ayah....., Ibu...Selamat Hari Raya Idul Fitri Minal Aa'idin Wal Faa'iziin" ....Maafkan Senad, Ayah, maafkan Senad, Ibu. Senad sangat mencintai dan merindukan kalian, Senad ingin sekali kembali merasakan berlebaran bersama kalian! Senad ingin me-nyungkem kalian, mencium tangan kalian, memeluk kalian sambil mengatakan, "Senad bahagia menjadi anak kalian; Ayah dan Ibu. Ya Allah, apakah di surga nanti ada hari raya Idul Fitri? Aku ingin berhari raya dengan ayah dan ibuku, Ya Allah!"

Keesokan harinya, sebagaimana biasa ketika Idul Fitri tiba masyarakat Arab bertamasya dengan mobil-mobil mewah mereka atau melancong ke berbagai negara, menghabiskan waktu di resto-resto, di bawah bayang pohon yang sejuk, di rumah-rumah mewah sambil menikmati daging giling. Mirisnya, di antara mereka ada yang mengirim pesan singkat yang 'bodoh' kepada Senad, "Sampai di manakah Senad?" ***

5700 KM Menuju SurgaWhere stories live. Discover now