22 | Alasan Jatuh Cinta

Start from the beginning
                                    

"Duh, om, kalau om ngomongnya gitu terus rasanya Rangga mau langsung panggil jadi papa."

Iris melotot mendengar celetukan pacarnya, sementara papanya hanya tertawa lalu berpamitan dengan teman Iris lainnya. "Mari Katya, Lavina, Arsen, om duluan."

Setelah mengantar om Farhan—papanya Iris keluar—barulah Rangga menumpahkan seluruh kekhawatiran yang tadi ia redam.

"Iyiiis, kamu kenapa, siii?" Rangga mencebikan bibirnya. Mode lebaynya sudah dimulai.

"Tau Ris, lo kenapa, sih? Gue tadi lagi sama Adnan, langsung ke sini denger lo pingsan," kata Katya sambil menjatuhkan diri di pinggir ranjang Iris.

"Adnan?" Lavina bertanya bingung, membuat Katya langsung meruntuk dalam hati. Ia lupa di sini ada Lavina dan Arsen.

Sadar bahwa Katya membutuhkan pertolongan, Iris langsung membelokan topik percakapan mereka. "Kak Lavina, kak Arsen, kok bisa ada di sini?"

"Ah, iya tadi kamu pingsan di belakang aku soalnya," ujar Lavina sambil meraih kursi di samping nakas, namun seperti gerak refleks, Arsen langsung mengambilnya lalu meletakannya di samping ranjang. Lagi-lagi, Iris tak bisa menahan senyum melihat perhatian kecil Arsen yang sering orang lewatkan. "Kebetulan rumah sakit ini rumah sakit papaku, dokter yang tadi periksa kamu itu abangku, bang Galan."

"Wah, iya? Pantas, senyumnya kayak familier," ujar Iris dengan mata berpedar.

"Iya, makanya gue sebel dengarnya." Alih-alih Lavina, justru Rangga yang menyahut. Cowok itu merenggut seperti anak kecil. "Bilangin abang lo tuh Lav, jangan kecentilan! Awas aja kalau meriksanya sekalian mod—aw, sakit Iyis!"

Rangga mengembungkan pipinya protes. Tapi Iris tak menghiraukannya, ia justru menyengir lebar, merasa tak enak pada Lavina.

"Jangan didengerin ya, kak, Rangga suka ngawur emang."

Lavina mengibaskan tangannya cuek. "Tenang aja, tiga tahun kenal dia udah tahan banting kok aku."

"Oh, iya, Ris, nyokap lo dirawat di sini juga kan?" tanya Katya tiba-tiba.

"Oh ya? Mama kamu dirawat di sini juga?" tanya Lavina antusias. "Dimana?"

"Di atas kak, di ruang Anggrek."

"Sakit apa?"

"Koma, pasca kecelakaan." Iris tetap tersenyum, tapi nada pahit itu ketara dalam suaranya. Ia tak pernah terbiasa membicarakan mama tanpa merasa sesak. "Udah lebih dari setahun, mama dirawat di sini."

"Maaf, aku nggak tahu," tukas Lavina tampak merasa bersalah, di sampingnya Arsen mengusap bahunya lembut. Meski Lavina tak pernah berniat menjadi seorang dokter, namun tumbuh di sebuah keluarga yang mencintai dunia kedokteran, membuatnya paham. Hanya ada dua hal yang dinantikan oleh orang yang sudah koma hingga berbulan-bulan; sebuah keajaiban atau malaikat maut yang menjemput. Menyedihkanya, kebanyakan pasien berakhir pada opsi yang kedua. "Nama mama kamu siapa? Biar nanti aku coba minta papaku mengirim orang-orang terbaiknya."

"Nama mamaku Lalisa Walanda, tapi nggak usah kak, dokter Haidar udah baik banget, kok."

Kini Arsen dan Lavina tampak terkejut, sebelum senyuman terkembang di bibir Lavina. "Dokter Haidar tuh papaku tahu, Ris! Ih kita jodoh banget, sih!"

"Bagooos, kesannya makin gede aja ya, peluangnya abang lo ngedeketin pacar gue!" Rangga mencebikkan bibirnya membuat mereka semua tertawa—kecuali Arsen yang hanya menarik ujung bibirnya.

Lima belas menit kemudian, Lavina, Arsen dan Katya berpamitan pulang. Acara sekolah belum selesai, tapi sepertinya Rangga tak berniat kembali ke Nusa Cendekia.

Iris [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Where stories live. Discover now