17 | Rangga Dewantara VS Nicholas Saputra

Mulai dari awal
                                    

"Alhamdulillah lancar eyang, proses reading sudah selesai, mungkin minggu depan akan shooting hari pertama."

"Lakyo apik to, nduk. Shooting neng Jakarta, to?" [Nah, bagus, shooting di Jakarta kan?]

"Iya eyang, makanya aku lagi cari apartemen yang nyaman."

"Walah, ngapain cari apartemen? Wong eyang wes ngomong karo bapak, ibumu, nek kowe neng kene pas iseh neng Jakarta." [Walah, ngapain cari apartemen? Eyang sudah bilang ke bapak, ibumu, kamu tinggal di sini selama di Jakarta.] Eyang mengalihkan tatapannya pada Rangga. "Kowe sek tugas njagani Kinan yo, Ga! Awas kalau kenapa-napa!" [Kamu yang tugas jagain Kinan ya, Ga! Awas kalo kenapa-napa!]

Mendengar kalimat eyang, Iris merasa genggamannya pada sendok melemah. Lewat ekor mata, ia perhatikan ekspresi Rangga. Rangga tampak tidak terpengaruh, bibirnya masih mencebik karena perkara sayur bayam.

"Terserah eyang, asal bunda nggak masak bayam lagi, Rangga manut."

Iris merapatkan bibirnya. Dosakah ia jika ia kecewa?

"Kayak anak kecil lo," Rindu mencibir.

"Biarin, bilang aja lo sirik soalnya gue jadi anak kesayangan bun——uhuk." Rangga mendadak tersedak.

Seperti gerak refleks, Iris langsung menyerahkan gelasnya pada Rangga, bersamaan dengan Kinan yang menyodorkan minumannya.

Tanpa menyadari keganjilan tersebut, Rangga menerima gelas dari Kinan, menghabiskannya dalam sekali tenggak.

"Makanya, Ga, kalau marah-marah jangan sambil ngunyah. Keselek kan," bunda mengomel seraya mengusap punggung Rangga.

Iris menarik kembali tangannya, menatap gelas itu sambil tersenyum pahit. Tidak apa-apa, Rangga pasti refleks mengambil gelas yang di depan matanya.

Iya, tidak apa-apa.

°°°

Setelah makan siang, Rindu mengajak Iris untuk menonton DVD di kamarnya, sedangkan Kinan memisahkan diri untuk membantu eyang menyelesaikan rajutannya. Betapa dunia mereka sungguh berbeda. Kinan dengan segala kemampuan keperempuanannya—memasak, merajut, menjahit, modeling, dan sebagainya. Sedangkan Iris dengan segala dunia khayalannya.—Film, novel, fangirl dan sebagainya.

Sebenarnya, DVD itu sudah berkali-kali diputar. Baik Rindu maupun Iris sudah hapal setiap scenenya. Meski ceritanya sederhana, tapi bagi mereka berdua—Iris dan Rindu—film itu sempurna.

Oh, kecuali satu hal, nama tokoh utama laki-lakinya yang membuat mereka—mau tak mau—mengasosiasikannya dengan cowok paling absurd sejagat raya.

Rindu sudah memghempaskan dirinya di sofa, bersebelahan dengan Iris. Sedangkan Rangga masih berdiri di depan pintu kamar Rindu. Tampak tak rela atas invasi Rindu terhadap pacarnya.

"Iyiiis, kamu kan ke sini buat nemenin aku, bukan buat nonton sama nenek sihir," Rangga merenggut sebal. Seminggu ini intensitasnya bertemu Iris berkurang drastis. Selain karena eyangnya yang akhir-akhirnya menugaskan Rangga jadi supir dadakan Kinan, Ares juga sedang sensitif.

Bayangkan saja, Rangga hanya telat mengantar Iris setengah jam, itu cowok udah kayak satpam. Nongkrongin depan pager. Rasanya, mau bikinin pos ronda aja sekalian.

Untung Rangga masih ingat, ia membutuhkan izin Ares untuk segala dunia keper-Iris-annya.

"Cerewet lo," bukan Iris justru Rindu yang berdecak sebal.  "Sana jadi bayinya eyang aja, lupa lo lagi jadi bodyguard putri keraton?" sindir Rindu tajam.

Iris [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang