Lily (2)

385 27 5
                                    

Tahukah kamu? Cerita ini rata-rata dibaca sampe 50 - 60 reviewers, tapi yang vote rata-rata 10 orang reader gitu.

Bukannya aku mau serakah sih 😂 tapi kadang aku merasa ceritaku ternyata tidak mampu menarik hati kalian untuk memencet tombol bintang di pojok sebelak kiri ponsel kalian.

Kadang minder aja sih ternyata ceritaku gak bagus amat 😂

Makasih ya selama ini setia menunggu saya update. Udah dibaca, dikoment, divote pula.

Kalo untuk para Ghost Reader, aku ucapkan makasih juga. Walau aku tidak bisa melihat keberadaan kalian, jejak kalian masih membekas dan menghantui lapak ini hehe (sekali-kali muncul kek gitu. Gue gak menggigit kok)

Dah itu aja. Silakan lanjut bacanya 😂

Lily (2)

(Nathan, 15 tahun)

Marianne bilang, sejak operasi ibu tidak ingin dijenguk oleh siapapun. Permintaan yang aneh menurutku, karena kalau aku berada di posisi ibu, aku pasti ingin melihat wajah keluargaku untuk pertama kali. Apalagi operasi yang ibu jalani termasuk operasi besar. Beberapa waktu ini jantung beliau membengkak, dan otot-ototnya melemah sehingga kerja jantung beliau melemah.

Jadi untuk hari ini aku berinisitif sendiri untuk menjenguk beliau di rumah sakit.

Aku tidak mengajak Marianne maupun ayah kali ini. Aku ingin menjadikannya kejutan. Hari itu aku membawa beberapa gelas puding yang kubeli di kafe dekat rumah. Ibu selalu menyukai puding di sana, terutama yang rasanya peach summer.

Tak habis-habisnya senyumku mengembang kala aku memasuki lift dan melewati resepsionis yang penuh dengan para keluarga pasien yang mengantri atau pun menunggu. Aku teringat kalau sudah lama aku tidak melihat wajah ibu. Bagaimana nanti ya, kalau ibu tahu aku membawa puding hari ini? Dia pasti senang.

Ah, kamar 1150. Kamar di mana ibu di rawat sekarang. Tempatnya ada di lantai sepuluh. Ini adalah lorong yang biasanya diisi oleh pasien dengan penyakit berat kata salah seorang perawat yang pernah kudengar. Namun, aku yakin ibu sudah merasa lebih baik pasca operasi. Mungkin akan perlu beberapa waktu sampai beliau pulang ke rumah.

Ibu memang sudah bolak-balik masuk rumah sakit sejak aku berusia 10 tahun. Hingga beberapa kerabat keluarga kami, sempat pesimis jika ibu bisa kembali lagi ke rumah.

Tanpa sadar tanganku bergerak sendiri ke dada. Tempat di mana jantung lemah turunan ibuku berada. Aku ingat serangan pertama yang kualami ketika aku berusia 8 tahun. Waktu itu ibu masih sehat dan keluarga kami masih lengkap.

Ibu … adalah sosok yang memberiku semangat selama ini. Maksudku dengan jantung seperti itu, beliau masih mempunyai umur yang cukup sampai beliau menikah dan mempunyai dua anak.

Ya, meski salah satu anaknya mendapat penyakit turunan ini, tetapi … kalau ibu bisa hidup sepanjang itu, maka tidak terkecuali aku, ‘kan?

Tanganku mulai bergerak menyentuh kenop pintu, was-was pada pemandangan yang akan kutemukan di dalamnya. Berpikir kalimat apa yang harus kuucapkan pada wanita yang sudah melahirkanku kedunia ini. Membayangkan bagaimana wajah ibu ketika melihatku datang hari ini.

Namun, hal pertama yang kutemukan adalah suara pecahan vas kaca yang pecah ke lantai.

Waktu seakan berhenti. Semua hal seperti berjalan lambat. Jauh di seberangku, aku melihat sosok wanita yang tubuhnya kejang-kejang di atas ranjang. Kulitnya nampak pucat. Kedua matanya melotot tajam. Mulutnya membuka mencari udara meski sudah ada selang oksigen yang terpasang di lobang hidungnya.

Once Twice Trice (TAMAT) | 1.4Where stories live. Discover now