Oceana mencium kening Axel dengan penuh kasih, dan ia menurunkan Axel. "Ax, temani Papa ya, Kak Oceana sama Nenek temui dokter dulu." Axel mengangguk, kemudian mendekat ke arah Samudera.

"Na, ini Bunda bawa baju ganti, baju kamu udah banyak noda merah." Oceana meraih paper bag itu dan segera menuju toilet.

♥ ♥ ♥

"Tensi Ibu Vina rendah, jadi tidak biasa mendonorkan darahnya untuk pasien," ujar dokter Alvaro setelah membaca hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Vina. "Saya juga sudah menghubungi pihak PMI dan stok untuk golongan darah O memang sedang kosong." Setelah itu dokter Alvaro melenggang pergi.

Oceana menghela napas lelah. "Bun, Bang Ian golongan darah O 'kan?"

"Iya, tapi kan Bang Ian lagi ke Bali sama Ayah."

"Bun, suruh Abang pulang cepat sebelum terjadi hal yang buruk."

"Takut waktunya gak nuntut, mending kamu hubungi keluarganya, siapa tahu di antara mereka ada yang golongan darah O."

"Aku gak ada nomornya Tante Rania atau Aurel, Bun."

"Mending kita ke Axel, mungkin dia tahu."

Oceana dan Vina kembali ke ruang rawat Samudera. Ibu dan anak itu saling melempar pandang, menatap Axel yang terus berdoa untuk sang Ayah. Oceana menghampiri Axel. "Ax, punya nomornya Nenek Rania atau Tante Aurel?"

Axel menoleh. "Kata Ayah, Tante Rania sama Aurel lagi ke Palembang."

Oceana terdiam sesaat, menatap Samudera yang masih enggan membuka matanya. Kemudian ia meminjam ponsel Vina untuk menghubungi Adrian.

"Bang Ian, pulang cepat sekarang!"

"Apa? Abang masih ribet di sini."

"Bang, Samudera butuh transfusi darah, dan sekarang stoknya kosong. Cuma Abang yang bisa tolong sekarang."

"Oh."

"Bang, Samudera gini karena tolongin aku. Gak ada waktu lagi, ini menyangkut nyawa Samudera."

Tuuutttttt.

Panggilannya terputus secara sepihak.

"Bangggggggg!" suara Oceana meninggi. "Bun, tolong hubungi Bang Ian lagi," ia memberikan ponsel itu kepada Vina.

Pandangan Oceana mengarah kepada Samudera, ia mengecek nadinya yang semakin melemah, segera Oceana memencet tombol darurat dan tak lama kemudian muncul dokter Alvaro untuk melakukan pemeriksaan.

Dokter Alvaro menghela napas pelan. "Pasien harus segera melakukan transfusi darah agar segera dioperasi. Saya sudah menghubungi pihak rumah sakit lain, stoknya ada tapi tidak bisa diproses cepat, sedangkan pasien tidak memiliki banyak waktu lagi."

Tangis Axel semakin kencang mendengar penuturan sang dokter. "Papa, gak boleh tinggalin Ax, nanti Ax sama siapa kalau Papa pergi," tangisnya pecah, air matanya semakin mengalir deras.

Dokter Alvaro kembali berbicara. "Saya permisi dulu, masih ada pasien yang harus saya tangani."

"Iya, dok."

Oceana menatap Samudera sekilas, kemudian ia meraih tubuh Axel dan memeluknya, lalu membisikkan kata-kata penyemangat. "Jika seandainya Papa pergi, Axel gak usah takut. Nanti Kak Oceana yang akan rawat kamu." Kemudian Oceana mencium kening bocah 6 tahun itu. "Jangan nangis lagi, kita harus berdoa untuk Papa."

Vina mendekat dan menepuk pundak Oceana. "Bunda udah coba hubungi Bang Ian tapi nomornya gak aktif."

Oceana menghela napas panjang lalu menghembuskannya, ia tidak sanggup jika Samudera pergi karena menolong dirinya, itu akan membuat dirinya sangat amat merasa bersalah.

Tuhan, selamatkan Samudera demi Axel, seorang anak yang masih membutuhkan kasih sayang dari orangtua. Selamatkan dia yang aku cintai, aku mohon.

Axel mendekati Papanya dan kemudian berucap, "Papa pernah janji untuk selalu temani Ax, tepati janji itu, Pa. Jangan buat Ax benci Papa karena Papa gak menepatinya."

"Ax janji gak akan mengeluh lagi kalau Papa jarang di rumah karena kerja, Ax gak akan nakal lagi. Ax janji, Pa."

Axel terdiam kemudian cairan bening itu kembali menetes. "Yang Ax punya cuma Papa."

Hati Oceana dan Vina tertohok mendengar pengakuan Axel, ucapannya terdengar tulus dan menyakitkan secara bersamaan. Siapapun yang berada di posisi Axel pasti akan merasakan hal yang sama.

"Cukup Mama yang pergi secepat itu, Papa jangan."

♥ ♥ ♥

SAMUDERA (SUDAH TERBIT) ✔Where stories live. Discover now